Part Two

1K 391 819
                                    

Bagi mahasiswa Kesehatan Masyarakat, berbicara di depan umum itu sudah kewajiban. Kami diharuskan memiiki skill ngebacot, karena dengan itu mereka tidak malu berbicara di depan umum untuk menyampaikan informasi seputar kesehatan. Seperti slogan kesehatan 'Mencegah lebih baik daripada mengobati' dan itu yang diterapkan kepada mahasiswa Kesehatan Masyarakat.

Tapi pastinya, tidak semua orang bisa melakukan itu. Contohnya pada saat ini, aku, Ana dan ketiga teman lainnya disatukan menjadi kelompok dan harus mewawancarai masyarakat. Mereka semua menunjukku untuk melakukan itu, karena mereka tau yang hobi dan ahli ngebacot itu hanya aku. Tidak elite sekali predikatku diberikan mereka.

Aku hanya mendengarkan tanpa mengerti apa yang mereka bahas saat ini. Karena jam perkualiahan yang dipercepat aku tidak sempat untuk sarapan tadi, dan hasilnya aku kelaparan saat ini.

"Na, makan yuk. Aku laper, beli geprek di simpang kampus sebelah aja," ajakku dengan memegangi perut yang sudah berbunyi dari tadi.

"Ayo," jawab Ana. Perempuan itu beralih menatap ketiga temanku yang lain, "kita lanjut besok aja, ya."

Satu hal lagi yang aku sukai dari Ana adalah, dia selalu mengikuti kemauanku. Mungkin lebih tepatnya dia pemakan semua jenis makanan, jadi menu apapun yang kuminta untuk kami makan dia pasti oke-oke saja.

"Mana si Niawan, biar pinjam keretanya aja." Aku cilingak-cilinguk mencari keberadaan laki-laki yang aku butuhkan, lebih tepatnya keretanya yang aku butuhkan.

"Lama nunggu Niawan, nih ada si Rizky. Pakai kereta dia aja lah."

"Kereta Rizky besar banget, aku juga belum mahir. Niawan jiwa-jiwa matic, jadi mudah."

Kukeluarkan ponsel---berniat mendial nomer Niawan. Belum sempat kuhubungi, laki-laki itu sudah berada di depanku, kurasa dia punya insting kalau keretanya sangat dibutuhkan saat ini.

Niawan memberiku kunci kereta berserta uang untuk memberi rokok. Laki-laki ini selalu saja menitip rokok kepadaku dan Ana, kalau bukan karena butuh keretanya aku ogah membelinya.

Tidak sampai 15 menit, kami sudah sampai di warung ayam geprek. Aku dan Ana duduk di dekat meja kasir untuk menunggu pesanan kami datang. Kumainkan ponsel dan membuka facebook untuk membuang rasa bosan.

Kuakui facebook memang tidak sebooming dulu, tapi Rean hanya memiliki facebook, jadi untuk mencari tau tentangnya atau hanya ingin memastikan dia masih ada di bumi ini, aku harus sering-sering membuka aplikasi itu. Aneh kan? Kurasa hampir semua temanku sudah memiliki Instagram, tiktok, dan akun lainnya. Tapi Rean, laki-laki itu hanya memiliki facebook saja.

Aku pernah bertanya padanya, kenapa tidak memiliki instagram, padahal aplikasi itu yang sedang marak sekarang, bahkan ibu-ibu pun banyak yang menggunakan itu. Dan dia menjawab "Aku tidak suka berfoto, aku tidak suka terlalu sibuk di sosial media. Lalu untuk apa aku harus punya instagram? Toh, tanpa aplikasi itu aku tetap bisa hidupkan." Aku hanya membalas dengan emoticon senyum. Sunggu anti sosial.

Aku menoleh melihat Ana di sampingku, "Na, menurutmu kalau aku ngechat Kak Rean gimana?"

"Ya, nggak gimana-gimana. Chat aja kali."

"Iya kan? Aku sama dia berteman, ya 'kan?"

"Tolong diralat Syn, lebih tepatnya kau masih suka Kak Rean, perempuan gagal move on."

"Angek aja lemak lembu."

Jari-jariku menari di atas keyboard, berniat mengikuti kata hati untuk mengirim beberapa kata sapaan karena kami sudah lama tidak berkomunikasi. Tapi semua terkalahkan oleh gengsi dan akhirnya aku hanya mengirim kata "apa kabar, Kak?"

COME BACKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang