Twelve 🍁

356 146 106
                                    

Hai cantik, maaf aku bisanya ngabarin dari WhatsApp gini. Hari ini aku berangkat ke Bandung karena aku dipindahkan ke sana, dan sepertinya aku memilih menetap di sana untuk beberapa tahun. Kamu jaga kesehatan, jangan galau-galau mulu. Kalau wisuda undang aku, ya.

Aku sedikit kecewa membaca pesan dari Ilwan, dia tidak mengatakan apapun saat terakhir kali kami bertemu. Sekarang dia malah mengirim pesan kalau dia akan pergi jauh dan mungkin nggak akan balik ke Medan.

Aku mengetik kata-kata terakhir sebagai penyemangat untuk Ilwan di sana. Dia teman laki-laki yang selalu ada untukku selama ini, walaupun akhir-akhir ini kami jarang komunikasi ataupun bertemu karena aku yang sok sibuk dengan kegiatanku dan dia benar-benar sibuk dengan kegiatannya, tetap saja aku pasti merindukannya nanti.

Setelah menekan tombol kirim, aku menyimpan ponselku di dalam loker kemudian merapikan baju dan siap bekerja.

"Ada yang nyariin tuh di meja delapan," kata Ani---barista di cafeku bekerja.

Aku bingung kenapa orang yang duduk di meja delapan selalu mencariku, kemarin Ilwan dan sekarang siapa lagi?

Melihat postur tubuhnya dari belakang, sepertinya aku bisa menebak siapa dia. Untuk apa laki-laki itu datang ke tempat kerjaku di jam segini coba?

"Ngapain di sini?" tanyaku dengan tampang tak bersahabat dan tangan kulipat di atas dada. Untungnya keadaan cafe lagi sepi, jadi tidak masalah aku bergaya seperti ini.

"Kamu marah sama aku?"

"Kamu punya jam nggak, sih? Ini tuh masih jam kerja aku."

"Loh, aku 'kan mau makan di sini, emang nggak boleh? Aku customer loh ini," Rean menunjukan senyum manisnya yang menampakan lesung pipitnya di sebelah kiri. Ah manis sekali.

Aku tetap memasang wajah tak sukaku, aku harus membuatnya merasa bersalah kali ini. Benar kata Niawan, kalau aku tidak protes Rean tidak akan pernah mengetahui apa kesalahannya, dia akan terus bertingkah sesuka jidatnya dan aku yang makan hati, mana bisa begitu.

"Makan tempat lain aja, deh. Jam delapan malam, jemput aku di sini." Aku langsung meninggalkan Rean.

Mungkin, dengan berat hati, Rean terpaksa mengikuti keinginanku. Dia berjalan menuju kasir dan memesan satu Avocado coffe Float--minuman bestseller di cafe ini untuk dibawa pulang.

Aku memberikan senyum indahku saat mengantarkan pesanannya. Rean berdiri kemudian berbisik. "Nanti aku jemput ya. I love you."

Memang dasar aku yang tidak bisa dirayu sedikit saja, langsung meleleh mendengar ucapan Rean, bahkan pipiku panas sekali rasanya.

"Pssst..., Mbak Syn." Aku menoleh saat mendengar suara Uci----kasir di cafe ini.

"Itu tadi siapa?" tanyanya. Tampang-tampangnya sih dia ini pasti kepo, kemarin saja waktu Ilwan datang kemari dia menguberku untuk bertanya siapa Ilwan itu.

"Kenapa tanya-tanya?" tanyaku galak. Aku ini perempuan posesif kalau kalian belum tau, bahkan kalau teman dekatku mengatakan dia menyukai pacarku, siap-siap kontak WhatsApp-nya akan ku blokir.

"Dih galak amat, Mbak. Masnya ganteng, alisnya tebal banget, aku suka." Aku melotot tak percaya, apa dia bilang tadi? Suka?

"Suka?! Dia pacarku ! Awas aja jiwa-jiwa pelakormu meronta-ronta pas ngeliat dia, ya. Badan sama lehermu pisah!" kataku dengan mata melotot.

Uci hanya tersenyum kemudian pura-pura menyibukkan diri dengan layar komputer di depannya.

🍁🍁🍁

COME BACKWhere stories live. Discover now