Fourteen 🍁

335 133 103
                                    

Hari ini hari Kamis, seperti biasa, kelas akan dimulai dengan kuis yang membuatku pusing. Beberapa temanku menatapku dengan tatapan 'Loh, kok Synda cepat banget datangnya?' Mungkin mereka percaya tak percaya kalau yang mereka lihat ini memang Synda Arshnella, si perempuan yang selalu ogah-ogahan datang ke kampus di hari Kamis. Apalagi hari ini aku tidak melipat tangan dan menenggelamkan wajahku.

"Kesambet apa kau?" tanya Ana yang baru sampai.

"Setan cinta," jawabku seadanya.

"Ha? Setan budek yang ada, setan cinta nggak ada."

Aku mendekat kepada Ana. "Rean berubah, Na. Semalam sore dia datang ke kosku, terus duduk di kos sampai malam," aduku pada Ana.

"Apanya yang berubah? Wajahnya? Mirip siapa? Jacob di film Twilight bukan?"

Aku memukul pelan lengan Ana. "Ih bukan. Sifatnya berubah, masa tanpa disuruh dia mau datangi aku. Aku suruh beli sate juga dia mau aja. Mana satenya enak lagi."

"Bagus dong, berarti dia serius sama ucapannya kemarin, kalau dia mau berubah jadi lebih baik dan perhatian ke kau."

"Iya, tapi pikiran pintarku ini bilang kalau itu semua nggak tulus."

Benar. Semalam sehabis kami ehem .. ciuman. Entah mengapa aku malah mempertanyakan semua sikap Rean malam itu. Di mulai dari dia mengabari akan datang ke kosku, dia membawa makanan walaupun aku yang memesan, dia membantuku mencuci piring dan mengingat semua yang pernah kukatakan padanya. Terakhir dia malah keliatan seperti marah, yang aku sendiri nggak tau apa penyebabnya.

Menurut logikaku, itu semua, aneh. Ditambah kami malah berciuman. Aku dan otakku yang selalu berpikiran negatif ini berpikir, kalau Rean datang memang hanya untuk mendapatkan ciumanku. Ya, memang aku yang ingin menciumnya semalam, tapi itukan di pipi, bukan rejeki nomplok di bibir. Walaupun rasa ciuman itu manis, tetap saja aku berpikir negatif.

Ana menoyor kepalaku. "Pikiranmu aja yang terlalu kecil, jadi selalu mikir yang aneh-aneh. Nggak selamanya apa yang dikatakan pikiranmu itu benar, Syn."

Aku diam tidak menjawab. Aku belum bisa memberitahu Ana tentang isi kepalaku ini. Kalau dia tau, mungkin dia akan marah-marah karena aku meragukan perubahan Rean.

"Rean benaran masih cinta aku nggak, ya, Na? Secara kami kan uda berpisah selama tujuh tahun."

"Tanya sama dia, lah, kok tanya sama aku. By the way, semalam kalian ngapain aja?" tanyanya dengan menaik turunkan kedua alisnya.

"Makan doang, minum, terus ngobrol."

"Ngobrolin apa? Ukuran BH dan CD bukan? Secara kalian 'kan cuma ada berdua tuh, apalagi malam. Rean kan normal, masa dia nggak ngeliatin buah kembarmu?"

Aku mendelik, Ana ini mulutnya memang harus disumpal cabe rawit satu ton.

"Buat apa nanyakin coba? Nggak berfaedah banget."

"Kali aja dia mau beliin. Kau kan anak kos, jadi jarang punya uang untuk beli BH."

Tolong ingatkan aku, kalau perempuan di depanku ini adalah teman baikku. Karena kalau aku lupa, mungkin aku sudah menyiramnya dengan air dingin ditanganku ini agar tidak membahas tentang BH saja. Apa dia dan gebetannya bahas begituan, ya?

Ana mendekat. "Kalian ciuman nggak?" tanyanya dengan tampang bodohnya.

Ya Tuhan, kalau aku mencekik temanku ini, bisa kah kau mengampuni dosaku?

"Pertanyaanmu aneh-aneh aja," jawabku

"Tuh pipimu merah ! Ya ampun berarti beneran? Kiss .. Kiss ..," katanya, seraya memperagakan tangannya seperti orang berciuman.

COME BACKWhere stories live. Discover now