10. Langkah pertama

59 8 2
                                    

Jatuh cinta itu lucu, ya. Hanya karena hal kecil aku bisa tersenyum begitu lebar karenanya. Karena kamu.

♡♡♡

Aku tahu, aku sudah jadi anak durhaka sejak tadi malam. Membohongi Mama dengan berkata aku memiliki tugas kelompok padahal aku sedang di sini, di ruang seni dengan hingar-bingar serta euforia musik yang tercipta.

Tim Kak Fedian menyambutku dengan ramah, walau aku satu-satunya yang menjadi adik kelas di sini sedangkan mereka semua satu angkatan, Kak Ed (aku memilih ikut memanggilnya Ed karena nama Fedian terlalu merepotkan untuk disebut), Kak Shinta, dan Kak Rama.

Dua nama terakhir seperti tokoh ikonis dalam kisah Ramayana, ya?

Walau pada nyatanya, Kak Rama dan Kak Shinta adalah sepasang anak kembar.

Aku jadi berpikir, mungkin orangtua mereka salah satu penggemar berat kisah itu jadi menamakan anak mereka seperti tokoh utamanya.

"Nyaman gak?"

Aku menoleh, mendapati Kak Fedian sudah duduk di sampingku, sama-sama menatap kehebohan Kak Rama dan Kak Shinta yang berebut mic untuk bernyanyi.

Mereka berdua lucu, selalu meributkan hal-hal sepele satu sama lain. Asik bertengkar di mana saja, tapi aku bisa merasakan bahwa mereka benar-benar saling menyayangi.

Aku jadi penasaran bagaimana rasanya memiliki saudara.

"Emang ada alasan buat gue ngerasa gak nyaman kak?" sahutku retoris. Aku melirik singkat biola yang berada di pangkuanku. "Kalian semua ramah, jadi harusnya gue ngerasa nyaman, kan?"

"Hm, bener juga sih. Bagus deh kalo lo ngerasa gitu. Btw, sejak kapan lo main biola?"

"Pas SMP."

"Lo kursus musik?"

Aku hampir tertawa mendengar pertanyaannya. Kursus musik? Bermain musik saja tidak boleh, lalu apa ada harapan untuk mengikuti kursus musik? Dalam mimpiku saja.

"Engga." sahutku pelan.

"Oh, gue kira lo kursus. Permainan lo bagus soalnya."

Aku tersenyum tipis. "Makasih, kak."

***

Batu
Gimana tadi?

Aku tersenyum tipis saat melihat chat yang Kak Wafi kirimkan. Kenapa aku menamai kontaknya 'Batu'? Karena sikapnya seperti batu. Haha. Tidak, tidak. Bukan seperti itu.

Kak Wafi itu ... dia selalu menyamakan dirinya dengan batu. Entahlah.

Dia bilang, batu itu keras namun dapat luluh pada air yang menetes dengan penuh kesabaran.

Aku tidak mengerti sebenarnya, tapi karena sikapnya memang persis seperti batu. Maka dari itu aku menjulukinya dengan sebutan 'Batu'.

Aku suka sekali memanggil orang terdekatku dengan nama berbeda, atau bisa dibilang spesial dariku. Aku ingin memberi tanda kalau mereka memiliki arti tersendiri di hidupku. Seperti Kak Wafi, walau nama panggilan yang kusematkan padanya bukan murni dari ideku sendiri.

Sya
Seru, kakak2nya nyambut Sya ramah banget hehe

Hari ini memang melelahkan, tapi rasanya itu sepadan dengan euforia dalam diriku ketika bisa membaur lagi dengan musik.

Benar-benar sesenang itu.

Lantas beberapa detik kemudian mataku melirik biola kak Wafi yang kutaruh di samping meja belajar. Mama memang sempat bertanya tadi, darimana aku mendapatkan benda itu dan membawanya pulang ke rumah, lalu aku beralasan bahwa itu titipan teman. Baiklah, dosaku sepertinya semakin bertumpuk kian hari.

52 Reasons Why I Love You [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang