16. 2 Orang Bodoh, Bersama

1.7K 235 77
                                    

Waktu dan tubuh manusia, merupakan 2 hal yang sangat ajaib.

Jika kau sudah lama mengenal seseorang, kadangkala matamu bisa melewatkan hal penting, seperti menyetir sambil memikirkan hal lain, yakin akan tiba di rumah padahal tanpa sengaja berbelok ke arah yang salah. Sebab mata tak lagi memperhatikan, hanya melihat jalan itu, orang itu, sebagai sesuatu yang biasa. Kita tidak lagi menganggapnya istimewa, atau menyadari seberapa banyak dia telah berubah.

Inilah yang kupikirkan saat menatap 2 pria yang sama-sama memiliki tempat istimewa di hatiku.

Entah sejak kapan, Jaehyun sekarang sudah jadi lebih tinggi dari Yuta.

Padahal rasanya baru kemarin Yuta memperkenalkan kami dan tinggi Jaehyun sebatas mencapai bahunya. Tapi nyatanya, peristiwa itu sudah terjadi hampir 2 tahun yang lalu. Mereka sudah tumbuh; dari "anak laki-laki" menjadi "pria". Mereka berubah.

Satu yang tidak berubah adalah aku, yang tetap berada di antara keduanya.

Dan kelihatannya, aku jugalah yang menjadi pemicu konflik yang sedang terjadi.

Terbukti dari sorot mata Jaehyun, ini jelas bukan percakapan yang normal. Aku yakin ia tak pernah menatap orang lain seperti itu, terlebih Yuta. Nada suaranya pun sama sekali tidak terdengar ramah saat ia berkata, "Kalau mau membatalkan janji, sebaiknya lakukan itu dari jauh-jauh hari. Jangan buat Rose menunggu seperti kemarin."

Berjarak beberapa langkah darinya, Yuta berdiri dengan pose kebanggaannya. Ada sebuah ransel hitam familiar yang tersampir di bahunya. "Kalau mau bertengkar, jadwalkan nanti. Aku sedang jet lag sekarang."

Sambil tersenyum, ia menepuk pundak Jaehyun, lalu berbalik. Wajahnya mematung sejenak saat melihatku, dihiasi gurat-gurat keterkejutan. Di hadapanku, meski kami sama-sama tahu dia bukan murid teladan dan tidak sekalipun berusaha meraih predikat itu, Yuta selalu bersikap baik. Ada bagian dari dirinya yang sadar dia bukan sekedar senior, tetapi juga pria yang harus mencontohkan hal-hal baik saja. "Hei, Rosie. Annyeong!" Dia menyapa, melambai ceria. "Rasanya lama sekali aku tidak mengucap一"

Tidak sempat. Jaehyun lebih dulu menarik ranselnya, memaksa ia berhenti dari niatnya menghampiriku.

Tak pernah ada yang melakukan itu pada Yuta.

"Aku belum selesai," kata Jaehyun. "Mau kemana?"

Karena hanya disampirkan di satu bahu, ransel Yuta merosot dan jatuh ke tanah. Si pemilik menatapnya, menunggu. Namun Jaehyun tidak menunjukkan tanda-tanda akan memungutnya. "Kau ini kenapa? Kau aneh, Jung. Ada yang mau kau bicarakan?"

"Ya, ada," jawab Jaehyun jujur, bergeser menutupi Yuta dari pandanganku. "Sudah kubilang aku tidak suka kau memperlakukan Rose seenaknya. Bisa-bisanya kau muncul sesantai ini tanpa terlihat menyesal?"

Baik, itu sudah cukup.

Sebelum semuanya semakin memburuk一dan aku yakin itu bisa saja terjadi一aku bergerak menarik tangan Jaehyun, membawanya menjauh, membentaknya. "Ada apa denganmu? Jangan bicara begitu padanya!"

"Biarkan saja, Rosie," sahut Yuta datar, nyaris tanpa emosi, dengan ketenangan yang menakutkan. Itu adalah jenis ketenangan yang ditakuti para nelayan; tanda menjelang badai. "Biarkan orang yang tidak tahu apa-apa itu bicara一aku ingin mendengarnya."

"Setahuku一"

"Jaehyun, tolonglah..."

"Setahuku," lanjut Jaehyun, melepaskan tanganku dan mendorongku dengan lembut ke belakang. Api bersambut api; dia menolak berhenti. "Kau punya janji bertemu dengan Rose kemarin. Dia sangat bersemangat, tapi kau tidak datang. Sialan, kau membatalkan janji di saat yang tidak tepat, membiarkan Rose menunggu di tengah hujan. Mana tanggung jawabmu? Tidak, yang benar adalah, mana otakmu?"

Bored ✔️Where stories live. Discover now