24. "Can't Be Everyone's Fav Girl"

1.2K 209 105
                                    

Apa aku pernah bilang kalau keluargaku harmonis?

Jangan salah sangka, walaupun kedua orang tuaku bekerja, tapi aku dan Alice bukan anak broken home yang kekurangan kasih sayang. Semuanya serba berkecukupan一baik dalam hal materi atau psikologis. Karena ibu dan ayah menjadikan kami prioritas dan menempatkan keluarga di atas segalanya.

Kami bahagia.

Di hari biasa, Ibu selalu jadi yang pertama terjaga, disusul aku, yang bertugas membangunkan ayah dan Alice. Keduanya kompak sekali soal tidur, sehingga saat ada  tamu yang berkunjung dan ingin tahu soal Alice, ibu pasti berkata, "Dia putri pertamaku, dan hobinya adalah tidur sepanjang hari."

Kemudian, kami ber-empat berkumpul di meja makan, dengan nasi hangat dan lauk yang enak. Ayah akan bertanya tentang sekolahku dan kuliah Alice, diselingi 'dad jokes'-nya yang membuat kami lebih sering tertawa daripada mengunyah.

Setelah kenyang, barulah kami berpisah untuk berangkat ke tujuan masing-masing.

Hari ini berbeda.

Ayah tidak pulang一entah ada di mana. Ibu menangis hingga larut malam. Dan Alice mengunci diri di kamarnya.

Rumah ini ibarat kapal yang akan tenggelam, dan aku tak bisa melakukan apa-apa untuk mencegahnya.

Hanya bisa berdiri di depan meja riasku yang hancur. Bersama beberapa pecahan kaca yang berserakan di lantai, menampilkan ilusi tubuhku terpecah menjadi banyak bagian. Sepatu merah yang dulu kubeli ditemani Lisa tergeletak dengan posisi terbalik, tak ubahnya sampah.

Biar saja. Itu tidak penting.

Aku mencoba tersenyum, menyemangati diri sendiri. Tapi gadis berwajah pucat di kaca membuatku muak. Jadi aku menyingkir. Lantas kakiku berjalan ke dapur yang kuduga sedang kosong karena tak ada suara apapun

Dugaanku salah.

Ada ibu. Dia tengah memandangi api di kompor yang menyala. Rambutnya berantakan, pakaiannya masih sama seperti kemarin. Kepalanya mendongak melihatku sekilas, lalu menunduk, seolah aku tembus pandang.

"Bu." Sapaku, berusaha terdengar seriang mungkin. "Biar aku bantu, ya? Mau masak apa hari ini?"

Dia tidak menjawab. Tapi aku tidak menunggu persetujuannya. Segera kubuka pintu lemari es, dan menyambar sayur yang terlihat mencolok; brokoli. "Brokoli goreng kedengarannya enak. Bagaimana menurut Ibu?"

Ibu tetap tidak mengacuhkanku. Ia sibuk mengambil kentang, memotongnya jadi potongan-potongan kotak dadu dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. "Lagipula brokoli ini sudah lama ada di lemari es. Nanti bisa busuk kalau dibiarkan. Ya kan, Bu?"

Jawaban muncul berupa tangis yang membuat hatiku teriris. Ibu membanting pisau yang ia gunakan, menutup wajahnya, dan tersedu-sedu.

Lagi, dia menangis karena aku.

Dengan suara lirih berkata, "Maaf, Nak. Ini salah ibu juga. Seharusnya Ibu berhenti bekerja supaya bisa lebih memperhatikanmu."

"Tidak, tidak." Aku menggeleng cepat, tidak mau dia berpikir telah gagal mendidikku. Selama 18 tahun, ibu sudah melakukan yang terbaik, menyeimbangkan keluarga dan pekerjaannya. Menjadi wanita tangguh yang tidak hanya bergantung pada ayah. Dia hebat. Yang terhebat malah. "Ini bukan karena ibu."

"Itu memang benar!" Kami berhadapan sekarang; 2 wanita keluarga Park. 1 benar-benar dewasa, yang lain hanya anak-anak yang terjebak dalam tubuh orang dewasa. "Kau hamil, tapi Ibu baru mengetahuinya. Orang tua macam apa Ibu ini?"

Bored ✔️Where stories live. Discover now