16. pain for the umpteenth

2.6K 242 24
                                    

Keluarga.

Kebanyakan orang menganggap keluarga adalah sumber kebahagiaan pertama. Namun, untuk Na Jaemin, laki-laki yang sekarang tengah menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya akibat pukulan-pukulan keras yang ayahnya layangkan beberapa menit lalu, kebahagiaan pertamanya bukan sebuah keluarga. Justru keluarga adalah sumber pertamanya untuk menangis, ingin menyerah, dan merasa semuanya sia-sia. Jaemin lelah menghadapi keluarga ini, ia lelah tidak dihargai, tidak dipandang sebagai anak, dikatai bodoh, diinjak-injak, dibandingkan, disuruh mati. Jaemin lelah, mungkin setelah ini Jaemin akan gila.

Semua perkataan yang tidak seharusnya orang tua layangkan pada anaknya terus berputar di otak Jaemin, merusak kesehatan mentalnya perlahan-lahan, menggores luka dalam yang mungkin tidak akan bisa ia sembuhkan.

"Kenapa kamu masih hidup sampai saat ini?!"

"Kenapa kamu yang harus terlahir di dunia?!"

"Kenapa harus Na Jaemin yang menjadi anak kandung Mama?! Kenapa bukan Jaehyun saja?!"

"Anak bodoh seperti kamu itu nggak layak hidup!"

"Mati, Na Jaemin!"

"Mati!"

"Mati!"

"Mati!"

"AKU TIDAK MEMINTA DILAHIRKAN KE DUNIA INI!"

Hanna terjingkat, tangannya yang sedang mengobati luka di beberapa tempat di tubuh Jaemin langsung terhenti. Ia menaruh pandang pada laki-lakinya, senyum lemahnya merekah, sepertinya Jaemin lupa jika ia berada di sini, di rumah Jaemin.

Gadis yang membawa kapas penuh obat merah itu mengerjap beberapa kali, ia menarik napas panjang karena terkejut, "Na?" Panggilnya lirih.

"Aku nggak minta dilahirkan ...."

"Na Jaemin."

"Aku nggak minta untuk dibesarkan ...."

"Jaemin, tenang一"

"Bodoh!"

"Bodoh!"

"Bodoh!"

"Na, udah ...." Hanna menahan tangan Jaemin yang memukuli kepalanya sendiri, "hei, lihat aku, lihat aku. Aku di sini, aku bakal jagain kamu, udah, ya. Kamu nggak perlu khawatir lagi, kamu pasti baik-baik aja karena ada aku."

"Jaemin bodoh, Jaemin pantas mati."

"Nggak, Na. Kamu nggak pantas mati, kamu pantas untuk hidup. Di dunia ini semua manusia pantas hidup, terutama kamu. Jangan bilang kayak gitu lagi, ya? Aku nggak suka. Seenggaknya kamu hidup untuk aku."

"Kenapa ... kenapa harus aku yang diuji seperti ini?"

"Karena nggak ada manusia sekuat kamu yang bisa lewatin masa-masa sulit seperti ini."

"Aku pengin nyerah, boleh?"

"Hei, apa itu menyerah? Aku nggak pernah kasih izin kamu untuk melakukan hal itu. Menyerah nggak ada di kamus Na Jaemin, jadi kamu nggak boleh menyerah. Kamu harus bisa lewatin ini, aku bantu kamu, aku selalu ada di samping kamu, aku selalu siap kalau kamu butuh bantuan, kita bertahan sama-sama, oke?"

***

Sepulangnya Hanna dari rumah Jaemin, laki-laki itu kira semuanya benar-benar sudah selesai, atau setidaknya biarkan ia mengistirahatkan tubuhnya walau sejenak saja. Tapi sepertinya dunia memang sedang suka melihatnya disiksa.

Jaemin melihat sebuah mobil hitam memasuki pelataran rumah, ketenangan yang sempat hadir karena Hanna beberapa saat lalu kini sudah tergantikan oleh perasaan takut yang lagi-lagi berhasil menguasai dirinya hanya karena melihat mobil sang ayah. Jaemin melangkah mundur, masuk ke dalam rumah, berusaha lari ke dalam kamarnya, namun, satu teriakan keras yang hampir seperti bentakan memasuki indera pendengarannya.

Obliteration : For You, Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang