Pendahuluan (rewrite)

204 9 5
                                    

Jejak batuan tampak masih basah karena bekas siraman air beberapa waktu yang lalu. Ember kayu dengan gayung kayu panjang bersandar lemas di pinggir batu nisan panjang. Mereka seolah tidak ingin menyatu dengan suasana yang ada di sekitar.

Pepohonan tinggi nan rindang berusaha untuk menutupi pandangan yang selalu ingin melirik lebih jauh. Dedaunan hijau yang mereka simpan, perlahan terjatuh ke tanah, bersama angin yang tidak pernah berhenti menjamah seluruh tubuh.

Namun, aku sama sekali menghiraukan semua itu. Hanya ada satu hal yang sangat kurasakan sekarang.

Kesedihan.

Diri ini masih duduk bersama rasa duka yang menyelimuti tubuh dengan tebal. Meski seharusnya sekarang waktu sekolah masih berjalan, aku memilih bercengkrama dengan sunyi tanpa pernah tahu apa yang ingin ia bicarakan.

"Sudah dua minggu... sejak aku pertama kali mengantarkan kalian pergi ke sini."

Sepasang batu panjang menghadap ke arahku dengan tajam. Tidak memberikan diri ini kesempatan untuk mengelak. Bahkan, kedua mata ini terperangkap saat membaca nama yang terukir di atasnya. Sebuah nama yang terukir dengan cat kuning yang semakin memberikan kejelasan yang menyakitkan.

Ukiran kanji 黒沢 優 tertulis jelas di sana. Kanji tersebut bisa dibaca dengan ucapan 'Kurosawa Yuichi'. Nama seorang laki-laki yang pernah menjadi orang tua dan ayah yang menakjubkan.

"Ryuuji tahu kalau pernah membuat Ayah kesal. Bahkan tidak menuruti ucapanmu. Tapi, aku sama sekali tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang..."

Di sampingnya, batu panjang lain sudah berdiri tegak yang menghipnotis tangan ini untuk mengelusnya. Selama beberapa kali. Ukiran kanji juga telah terukir jelas dengan ukuran yang sangat mudah dibaca.

Kanji itu tertulis 黒沢 南和. Satu nama yang penuh arti dari seorang ibu yang penuh kasih sayang terhadap anaknya, 'Kurosawa Minawa'.

"Bagaimana... Bagaimana aku menjalani hidup sekarang? Ibu mengatakan 'jadilah orang yang mengerti satu sama lain'... tapi, seperti apa? Tolong jelaskan kepadaku caranya!"

Kepala ini seketika begitu berat. Pandangan mata telah tertutupi oleh genangan yang muncul tanpa aba-aba. Satu persatu tetesan air jatuh ke tanah serta mengaburkan pandangan. Sensasi dingin juga mulai terasa di pipi. Semua itu semakin membingungkan ketika suara yang keluar dari mulut ini terdengar sangat lirih dan sama sekali tidak jelas.

."...tolong... beritahu aku... caranya..."

Guncangan hebat yang muncul seakan menjebak semua kesadaran. Layaknya hujaman pisau, aku sama sekali tidak dapat bergerak. Tangan ini bergetar, kuat, seakan menjadi tanda tersendiri. Tumpuan perasaan yang sejak awal terlalu lemah, kini runtuh.

Sekali lagi, kesedihan berhasil memenangkan peperangan batin yang tengah terjadi.

Di dalam perasaan ini.

Meski cuaca bersinar terang, tidak ada awan ataupun angin yang menutupi, tetapi itu berbeda dengan apa yang kurasakan. Hanya mendung dan sendu hati yang menerpa perasaan ini.

Orang-orang mungkin mengatakan 'laki-laki harus kuat', 'laki-laki harus tegar', tapi apakah mereka pernah bilang 'terima kasih telah menjadi laki-laki yang kuat dan tegar'?

DUNIA DAN SEMUANYA HANYA OMONG KOSONG BELAKA.

Letter without WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang