19: Girlfriend

6.9K 498 76
                                    

“Maybe back then if I had just a little more courage and stood before you, would everything be different now?”
—BTS, The Truth Untold—

-

Sifra Lee

Hujan turun. Mengiringi langkahku untuk kembali ke rumahku. Jimin sudah pergi—tentu saja, karena aku memang sedang tidak ingin melihatnya lagi. Entah apakah aku bisa menemuinya lagi setelah pengakuan perasaanku kepadanya tadi. Jujur, aku sendiri tidak tahu mengapa aku pada akhirnya memberitahukan Jimin tentang perasaanku yang sebenarnya.

Aku juga harus berbohong kepadanya bahwa aku jatuh cinta pada Taehyung. Gila, memang. Tapi, selagi itu membuat Jimin menjaga jaraknya dariku—kurasa tidak ada masalah dengan itu.

Tubuhku basah. Pakaianku, sepatuku, tasku—semuanya. Meski aku benci hujan, tapi setidaknya sekarang aku harus berterima kasih karena hujan telah menutupi tangisku malam ini.

Hatiku sakit. Sakit sekali. Mengapa kasus percintaanku tidak pernah seindah yang kubayangkan? Mengapa aku tidak bisa seperti orang-orang yang selalu bahagia bersama dengan pasangan mereka?

Aku tahu jelas bahwa memang Tuhan menggariskan hidup semua orang itu berbeda-beda, tapi aku ingin keadilan di sini. Aku ingin bahagia juga. Aku ingin sekali merasakan di cintai oleh orang lain.

Sesampainya di depan rumahku, aku terkejut. Langkahku terhenti, namun pandanganku lurus ke depan dan menatap siapa yang berdiri di sana sembari menggenggam erat sebuah payung berwarna putih. Seketika, aku tahu apa yang terjadi. Oke, ini salahku. Iya, memang salahku semuanya!

Tapi aku sedang tidak ingin berdebat untuk sekarang. Aku hanya—aku ingin sekali memeluknya. Jadi, aku kembali melangkahkan kakiku dan menghampirinya. Lalu, orang itu melepas payungnya dan aku segera memeluknya. Ia membalas pelukanku dengan erat.

Aku menangis. Air mataku dan air hujan membasahi pakaiannya. Namun, sepertinya ia tidak peduli dengan itu semua. Ia hanya memelukku dengan erat sembari mengatakan, “hey, it’s okay. I’m here, Sifra. I will always be here,

I-I’m sorry.

“Tidak apa-apa.” Ia mengusap punggungku dan mulai menciumi bahuku dari luar pakaianku yang basah, “now would you mind tell me what happened with you?”

Aku mempererat pelukanku sembari menjawab, “apakah aku tidak berguna? Apakah aku tidak pantas untuk di cintai? Mengapa aku tidak bisa bahagia seperti orang lain? Mengapa hidupku begitu menyedihkan seperti ini?”

Ia melepas pelukannya dan menangkup wajahku. Ia menatap mataku—mencari sesuatu di sana yang entah apa. Kemudian, ia mencium keningku lalu membisikkan, “you’re worth of love. Sif, siapapun berhak untuk mencintai dan di cintai. Siapapun. Kau tahu, yang kau perlukan hanyalah bersabar dan menunggu orang yang tepat. Mungkin sekarang memang kau belum menemukannya. Tapi aku yakin, suatu hari nanti, pasti kau akan mendapatkannya—mendapatkan dia, yang lebih dari segalanya, yang Tuhan kirimkan untuk membahagiakanmu selamanya. So, don’t you ever think less of yourself. You’re worth more. So fucking beautiful that even I can’t take my eyes off of you,

Penjelasannya itu membuatku tenang. Benar. Ia memang benar. Untuk apa aku harus menangis seperti ini meratapi hidupku? Tuhan sudah memiliki rencana lain yang lebih besar untuk kehidupanku selanjutnya.

BABYSITTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang