PD 2

8.9K 437 27
                                    

¤¤¤

Usai shalat subuh, dering handphone membangunku kembali. Bodohnya, karena aku dengan semangat 45 mengangkat panggilan itu karena memakai nomor baru. Dengan mata terbuka sebelah, aku lantas menjawab.

"Halooo, siapa nih?" Dengan serak-serak becek, kuangkat telepon yang masuk.

"Hanni? Sayang, kenapa nomer Mas Karka diblokir? Mas minta--"

Seketika aku berjengit dan rasa kantuk yang datang lenyap entah kemana pemirsa zheyeng, eh.

"Eh, dengkulmu zheyeng-zheyeng! Bodo amat, dah! Aku udah nggak mau berurusan dengan kamu. Pokoknya, awas kalau nongol di kontrakan sama kantor Hanni! Bye, Zheyeng kampret!"

Tutt ... tutt ... tuuutt ....

See? Yess! Aku bisa sangar or judes 'kan ke Karka yang sudah kunyatakan sebagai mantan tidak terindah-aku sejak kemarin.

Aku berdecak kesal usai menutup sepihak panggilan suami dari Marlina itu. Lalu dengan lincah kembali ritual blokir kusematkan pada nomor yang tadi menghubungiku itu.

Aman.

Kutatap layar handphone yang masih menyala. Pukul 06.00 pagi begini aku tak punya kegiatan. Aku bukannya malas olahraga, hanya saja jam kerja kadang membuatku kelelahan. Aku terdiam untuk beberapa saat.

Aha, sebaiknya aku ke pantai saja untuk cuci mata dengan melihat kumpulan cowok-cowok yang tengah berzumba ria atau yang lagi jogging-jogging kekar, hahaha.

Kujentikkan jari dengan kedipan genit ala medusa. Haah, aku ini jomlo ... tidak masalah genitin bujang, asal jangan genitin laki orang, again. Huft! Gegara si Karka nih, aku jadi dicap pelakor padahal aku tak pernah tahu kalau dia itu punya bini.

Wake up! Pekikku tak mau memikirkan apa yang terjadi kemarin. Jujur, sebenarnya malu juga. Masa cantik-cantik begini aku gaet laki orang. Yang ada, harga diri aku jatuh dibanding dengan para janda-janda yang pantang tergiur bujuk rayu lelaki hidung belang yang menggunakan berbagai cara untuk memikat mereka

Aku pantas mengacungkan dua jempol pada wanita-wanita model seperti itu. Single parent tapi tetap berjalan pada koridornya saat membesarkan anak mereka tanpa sokongan dari pria-pria yang meminta timbal balik atas pemberian mereka. Hari gini dapat gretongan?

Hello ... semua pasti ada balasannya. Tapi tidak dengan si Karka itu, ya. Dia memacariku hingga detik ini tak pernah menyentuh area yang lain selain mengecup keningku.

Tenang, aku masih anak perawan tingting-nya Mama Ratna di kampung, kok. Pacaran bagiku itu hanya sekedar untuk bersenang-senang yang positif. Bukan lainnya.

¤¤¤

Dan di sinilah aku sekarang. Di pantai yang penuh sesak dengan para pengunjung yang sedang berolahraga aka zumba atau jogging. Di pinggir pantai yang luas, sebuah panggung kecil dibuat di tengah untuk instruktur yang memimpin zumba pagi ini. Pengunjung yang memadati tak melulu perempuan. Ada para lelaki atau cowok-cowok yang kupastikan sama sepertiku seorang pekerja.

Surganya para pekerja aka karyawan ya, hari libur. Bisa menghirup udara pagi dengan sinar matahari serta menggerakkan anggota tubuh selain berangkat kerja itu adalah anugerah yang patut kami syukuri.

Aku terus saja meliukkan badan mengikuti instruktur di depan sana. Di sisi kanan dan kiriku seorang ibu berjilbab serta gadis yang sepertinya umurnya di bawahku, juga antusias bergerak demi buliran-buliran peluh menyehatkan.

Napasku mulai ngos-ngosan setelah tiga puluh menit berlalu. Kuputuskan untuk beristirahat di undakan tak jauh dari tempatku tadi ber-zumba. Kuedarkan pandangan demi membuang rasa lelah yang ada.

PACARKU DUDA TAMPAN [Terbit]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora