3. ungkapan perasaan

16.5K 1.1K 23
                                    

          Tidak terasa, kami sudah melalui 30 menit perjalanan. Banyak hal yang sudah diskusikan bersama. Terutama tentang persiapan pelaksanaan beberapa event. Namun tetap saja aku enggan berbicara jika Gus Fahri tidak memulainya terlebih dahulu.

Pembicaraan mengalir begitu saja. Seringkali aku menyetujui, namun tak jarang pula aku mengkritik beberapa hal seperti keinginannya membuat kriteria pembuatan buku antologi cerpen pertama khusus untuk santri.

"Bagaimana kalau salah satu kriteria cerpennya harus tentang perjuangan islam, misal, kisah para Nabi atau Wali?"

"Kalau menurut saya, untuk awal-awal lebih baik temanya bebas dulu, tapi tetap harus bernuansa islami dan difokuskan pada pesan moral yang bisa diambil. Karena tidak semua peserta menguasai sejarah, takutnya malah minder duluan. Selain itu, santri putri biasanya lebih suka cerita baper,"

Gus Fahri hanya  tertawa renyah saat aku menjelaskan panjang lebar mengenai minat baca santri terhadap cerita baper.

"Baru setelah itu kita paksa mereka untuk banyak membaca sejarah, lalu menulis kisah para pejuang islam. Lomba menulis ini kan tidak hanya ketika 1 Muharram saja. Masih ada perayaan maulid Nabi dan Milad pesantren, nanti bisa kita masukkan kriteria yang jenengan mau di event-event selanjutnya," lanjutku lagi.

Kulihat beliau berkali-kali menganggukkan kepala.

"Saya pasrahkan sama kamu saja, saya yakin kamu lebih tau di lapangan seperti apa."

Aku hanya tersenyum menyetujui.

Tak lama kemudian, terdengar pedagang asongan menawarkan makanan dan minuman dari arah belakang sesaat setelah bus berhenti menurunkan penumpang.

"Kamu haus, atau mau beli cemilan?"

"Tidak, Gus. Terima kasih."

"Tidak apa-apa, saya yang belikan."

Belum sempat menjawab, Bapak pedagang itu sudah berada di antara tempat dudukku dan Gus Fahri. Lalu menawarkan beberapa minuman dan makanan yang ia jual.

"Nisa, ini. Ambillah!"

Gus Fahri menyodorkan sebotol air mineral yang baru saja dibeli dan sudah dibukakan segel penutupnya. Dan aku enggan menolak pemberiannya.

Aku tertegun.

Bahkan ia memperhatikan hal sekecil ini? Untuk apa melakukan sesuatu yang aku pun bisa melakukannya sendiri? Sangat jauh dari dugaanku sebelumnya. Kesan dingin, angkuh, cuek tidak lagi kudapati dari dirinya. Justru saat ini, ia berkali-berkali membuatku termangu dengan perlakuannya.

"Terima kasih, Gus," jawabku kemudian, dan dibalas dengan sebuah anggukan.

"Nisa," panggilnya tertahan.

"Nggeh, Gus."

"Terima kasih atas semua yang sudah kamu lakukan terhadap pesantren."

"Sudah menjadi tugas saya sebagai santri, Gus. Melakukan apapun untuk pesantren.

Kusisipksn seulas senyum penuh keikhlasan di sela-sela perkataanku.

Beberapa saat hening menjeda.

"Nisa," panggilnya lagi di tengah bunyi gemuruh mesin bus yang kami tumpangi.

"Iya, Gus."

Kali ini berbeda, ada sesuatu yang tak bisa tergambarkan dari sorot mata itu saat aku mulai menatapnya. Perlahan pandangannya beralih lurus ke depan. Sedang aku masih menunggu apa yang hendak ia utarakan.

"Apa pendapatmu tentang jodoh?"

Aku terhenyak dengan pertanyaan yang baru saja ia lontarkan. Aku nyaris limbung dibuatnya. Lalu buru-buru membuang muka, menyembunyikan mata yang mulai memanas.

DEAR GUSWhere stories live. Discover now