6. Bahagia

14.8K 1.1K 35
                                    

"Saya berniat untuk mengkhithbahmu."

Aku mengerutkan kening, menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Bisa kurasakan ketulusan di sepasang mata jernih itu. Keteduhan wajah yang nyaris sempurna itu tak bisa menutupi harapan yang begitu membuncah.

"Saya serius, Nisa ..."

Kini kaca-kaca di mata berubah menjadi butir bening yang mulai menetes satu persatu. Dan aku pun menyadari bahwa akan ada saatnya logika tak bisa sejalan dengan hati. Ya. Seperti saat ini. Nyatanya aku benar-benar lemah dengan rasa yang sempat aku tolak berkali-kali.

"... Akan saya terima seperti apa pun itu jawaban kamu," lanjutnya lagi.

Dengan cepat aku segera mengusap pipi yang mulai basah. karena tidak mau terlihat sedang menangis.

Tak kusangka akan secepat ini ia mengungkapkan segalanya. Apa sebenarnya alasan Gus Fahri menjadikanku sebagai pilihan hatinya? Bahkan aku jauh dari kata sempurna. Bukan dari keturunan orang kaya maupun keturunan darah biru. Aku hanyalah seorang santri biasa seperti halnya yang lain.

"Saya cuma wanita yang jauh dari kata sempurna, Gus."

"Saya tidak pernah mencari wanita yang sempurna, Nisa. Saya rasa tidak akan ada wanita yang sempurna, yang ada hanyalah wanita baik. Baik agama, ilmu, dan akhlaknya. Itu yang saya cari, dan kamu memiliki itu semua."

"Rasanya terlalu berlebihan jenengan meniliai saya seperti itu."

Aku menunduk,

"Saya juga hanya keturunan orang biasa. marwah Jenengan, Kiai dan pesantren di atas segalanya. Saya ndak mau semua itu tercoreng hanya karena jenengan memilih saya," lanjutku lagi.

Aku hanya perlu memastikan sebelum menentukan pilihan. Karena pada akhirnya aku tidak mau terluka karena kondisi latar belakangku yang jauh berbeda dengannya.

"Bahkan Allah tidak pernah menilai hambanya berdasarkan yang kamu sebutkan tadi," ucapnya dengan penuh penekanan, seperti sedang menahan kecewa.

Hatiku terenyuh mendengar apa yang dikatakan. Bahkan ia selalu memiliki alasan untuk tetap mempertahankan pilihannya. Lantas aku bisa apa selain menerimanya? Sedang seluruh tentangnya sudah memenuhi seluruh rongga hati ini.

"Jadi kamu nolak niat baik saya? Atau masih butuh waktu untuk menjawab?"

Lirih kudengar ia bertanya. Bisa kurasakan tatapannya mengunciku.
Aku menoleh. Dan kami saling tatap dengan masing-masing rasa yang entah. Sejenak aku larut dalam sepasang mata bening dengan sorot penuh harap itu, yang seolah ingin mengatakan, aku di sini dengan tulus mencintaimu, Nisa.

Kutautkan lagi sepasang buku-buku jari yang sedari tadi basah karena keringat. Menghela nafas lalu mengembuskannya perlahan. Bismillah aku akan menerimanya.

"Tidak ada alasan bagi saya ... untuk menolak laki-laki sholih seperti jenengan, Gus," jawabku dengan canggung.

Seperti baru saja melepas beban yang begitu berat. Lega.

"Alhamdulillah," ucapnya beberapa kali nyaris tak terdengar, "Saya akan segera menemui Pak Affan dan Bu Arum."

"Tapi, Gus..." ucapku menggantung, " ... Apa ini tidak terlalu cepat?"

Mengingat keinginan Bapak agar aku menyelesaikan S2 dulu, membuat sedikit ragu. Apakah jawaban yang nanti akan Bapak utarakan pada Gus Fahri akan sama dengan yang sudah-sudah. Ah. Entahlah.

"Bukankah niat baik harus disegerakan, Nisa?

"Lalu ... Bagaimana dengan Kiai dan Bu Nyai, Gus? Apa Beliau bisa menerima saya?"

DEAR GUSWhere stories live. Discover now