5. Khitbah

16.2K 1.2K 53
                                    

Aku mengambil satu persatu dari sekian banyak baju yang berjejer rapi di dalam lemari kayu milikku, lalu mencobanya. Sekali, dua kali belum juga ada yang cocok. Hingga beberapa baju dan jilbab kini sudah tergeletak menutupi seluruh sisi tempat tidur.

Terdengar suara pintu terbuka. Aku menoleh. Ternyata Ibu muncul dari balik pintu, masuk ke dalam kamar lalu menutupnya lagi. Sedang aku masih fokus memilih baju yang hendak kupakai keluar bersama Gus Fahri.

Terlihat dari cermin, Ibu sedikit menggeser beberapa baju agar bisa duduk di tepian kasur. Lalu meperhatikan apa yang sedang kulakukan.

"Setelah sekian lama, baru kali ini ibu melihatmu seperti ini lagi, Nduk."

Mendengar ucapan Ibu, aku bergeming. Mematung di depan cermin. Berusaha untuk menutupi bagaimana perasaanku saat ini. Membuatnya soalah tidak ada apa-apa. Meski aku tau, semakin berusaha menutupi, justru akan semakin memperjelas semuanya.

"Nisa cuma bingung gara-gara bajunya banyak yang dibawa ke pondok," ucapku mencari alasan.

"Tunggu, Biar ibu yang milihin."

Ibu menggeser duduknya, meraih satu persatu baju yang tergeletak lalu menyodorkan gamis syari warna peach satu set dengn jilbabnya.

"Ibu suka kamu pakai ini."

Tanpa banyak pertimbangan, aku meraihnya dan langsung kukenakan.

Benar saja warna gamis yang ibu pilih sangat cocok dengan warna kulitku yang cenderung kuning langsat.

"Ibu ndak mau kamu terluka lagi, Nduk. Terus nangis-nangis lagi. Ibu ndak sanggup lihat kamu seperti itu," ucapnya tiba-tiba. Kemudian beringsut menghampiriku. Memperbaiki letak jilbabku yang sebenarnya sudah rapi.

"Nisa janji gak bakal nangis-nangis lagi. Gak bakal terluka lagi."

Detik kemudian, kupeluk Ibu, erat.

"Suka sama seseorang boleh, ibu ndak pernah ngelarang itu. Tapi jangan terlalu larut dengan perasaan yang ndak pasti," lanjutnya lagi sambil mengurai pelukannya.

Kutatap wajah teduh itu, lalu kuanggukkan kepala berkali-kali, meyakinkannya bahwa tak akan terjadi apa-apa setelah ini. Raut kekhawatiran nampak jelas di balik wajah yang tak lagi muda itu. Yang di sisa hidupnya sangat kuyakini selalu berjuang untuk kebahagiaanku.

"Gimana? Nisa udah cantik kan?"

Aku mencoba mengalihkan kekhawatiran Ibu. Menggodanya dengan senyuman manja. Benar saja, seulas senyum kini telah terukir sempurna. Ah Ibu, bahkan di usiaku yang ke 22 tahun, Ibu tetap saja selalu memperlakukanku layaknya anak kecil yang butuh di manja.

"Anak Ibu selalau cantik kok. Ya wes, ayo. Kasian Gus Fahri sama Ning Fia sudah nunggu dari tadi." jawab ibu, dan di susul dengan genggaman hangat di tangan. Lalu membawaku keluar kamar menuju ruang tamu.

.

Percakapan yang sebelumnya sempat kudengar seketika terhenti saat aku tiba di ruang tamu. Hanya ada Bapak, Gus Fahri dan Ning Fia yang sibuk dengan gadgetnya.

"Nah, ini sudah keluar," ucap Bapak yang saat itu duduk di hadapan Gus Fahri yang terhalang oleh sebuah meja.

"Kalo gitu kita langsung berangkat saja."

Ucapan Gus Fahri langsung disetujui olehku dan Ning Fia, hingga akhirnya kami berpamitan, dan membiarkan mobil yang kami kendarai melesat menuju panti asuhan Al-Amien.

* * *

Di depan sana, tepatnya di depan bangunan yang bercat dominan biru muda, terlihat para malaikat kecil itu sudah berkumpul bersama dengan berpakaian rapi. Nampak jelas sikap antusias maupun binar kebahagian dari wajah mungilnya sesaat setelah kami tiba di panti asuhan Al-Amien.

DEAR GUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang