Rasa Bersalah

3.4K 199 11
                                    

Revan mengerejapkan matanya, ia menatap sekelilingnya. Ia meraba sesuatu yang bertengger di hidung mancungnya. Selang kecil yang membantunya bernapas. Ia mengedarkan pandangannya. Ruangan putih dengan bau obat. Revan kembali ke ruangan ini lagi untuk kesekian kalinya, tapi ia juga bersyukur bahwa ia masih bisa terbangun lagi. Tak ada yang lebih Revan syukuri belakangan ini. Selain oksigen yang masih bisa ia hirup, meski sesekali harus dibantu oleh nassal cannula. Tuhan masih begitu baik memberi kesempatan hidup pada Revan. Pandangannya kini beralih pada jam dan sudah menunjukan pukul 2 pagi. Revan menghela napas, lalu melihat kedua sahabatnya yang sedang tertidur di sofa. Senyum tipis hadir di bibir keringnya, seraya hatinya mengucap syukur karena ia di pertemukan dengan Rizki dan Zefan sebagai sahabatnya. Bahkan lebih dari sahabat, mereka sudah seperti saudara untuk Revan. Begitu juga Revan untuk mereka.

"Van, loe bangun?" Tanya Rizki yang terbangun dan melihat Revan sedang melihatnya. Rizki bangkit dari tempatnya dan menghampiri Revan. Ia memang tidak bisa tertidur pulas. Karena was-was Revan terbangun.

"Mau minum Van?" Rizki mengambil botol Aqua kecil di samping ranjang Revan.

"Ki, maaf udah bikin istirahat loe nggak nyaman." Ujar Revan dengan sorot mata yang sendu. Ia juga melihat wajah Rizki memar, membuatnya semakin merasa bersalah.

"Apa sih Van, nih minum dulu loe pasti haus." Rizki membantu meninggikan posisi ranjang Revan. Lalu, kembali duduk, membuka botol minum yang masih tersegel tersebut dan meletakan sedotan di dalamnya.

"Nih diminum." Revan mengangguk dan menyedot perlahan air tersebut. Rasa dingin menjalar dari tenggorokannya dan membuat tenggorokan Revan lebih baik.

"Makasih Ki."

"Yaudah sekarang loe istirahat lagi ya." Rizki menutup kembali botol Aqua tersebut.

"Ki, mual." Keluh Revan sembari memegangi perutnya yang terasa tidak enak. Mendengar hal tersebut Rizki segera mengambil baskom berukuran sedang di bawah ranjang Revan.

"Muntahin sini biar lega." Revan menatap Rizki sekilas, lalu terbatuk dan muntah. Rizki memijat tengkuk leher Revan dan sesekali mengelusnya. Rasa iba lagi-lagi menghampirinya. Sakit sekali rasanya melihat Revan menderita seperti ini terus. Rizki ingat betul terakhir kali ia menginap di rumah Revan beberapa minggu lalu. Revan juga seperti ini.

"Ki capek..." Revan menyandarkan kepalanya ke bahu Rizki yang berada di sampingnya. Keringat dingin bercucuran dari wajah tirusnya. Matanya berair dan merah. Tubuhnya terasa ngilu semua dan lemas. Tapi rasa mualnya terus hadir. Revan kembali memuntahkan isi lambungnya. Hanya air yang keluar. Rizki segera mengambil tissue dan menyeka keringat Revan.

"Minum dulu Van." Rizki menyodorkan kembali botol minum sisa tadi Revan minum. Revan menyedotnya sedikit karena rasanya sangat pahit.

"Ki, sakit banget." Keluhnya dan kembali menyenderkan kepalanya pada Rizki. Matanya terpejam, sembari mengatur napasnya. Rizki berusaha setenang mungkin menanggapi Revan yang berkali-kali mengeluhkan sakitnya. Meskipun jauh di lubuk hatinya ia sangat khawatir.

"Dibawa istirahat lagi ya, dibawa tidur."

"Ki, mau sama bunda." Suara Revan terdengar serak efek tadi ia muntah.

"Iya besok gue suruh bunda gue kesini ya." Rizki tau betul bagaimana Revan sangat merindukan ibunya. Jadi ia akan menghubungi bundanya. Karena selama ini Revan juga dekat dengan sang bunda.

"Kenapa dunia seakan-akan menyuruh gue untuk menyerah dengan rasa sakit ini. Badan gue rasanya sakit semua Ki." Revan menangis, ia sudah tidak kuat lagi menahan semua sakitnya.

"Nggak boleh nyerah Van. Loe kan kuat, sekarang istirahat lagi ya gue mau bersihin ini dulu." Rizki meletakkan perlahan kepala Revan ke bantal.

"Ki, maaf lagi-lagi gue nyusahin loe." Ucap Rizki dengan mata yang terpejam.

Tentang Dia RevanWhere stories live. Discover now