Tuhan Itu Baik

2.6K 202 20
                                    

Revan berjalan menuruni tangga dengan mood yang baik pagi ini. Karena ia akan kembali ke sekolah.

"Siapa suruh sekolah?" Tanya Rafi saat melihat Revan berjalan ke meja makan sudah rapih dengan balutan baju sekolahnya.

"Kalo nggak sekolah mau ngapain di rumah juga kan Yah." Ucap Revan yang langsung duduk di dekat sang kakak.

"Ayah udah bikin surat pengunduran diri kamu ke sekolah dan kamu bakal homeschooling."

"Hah?" Revan di buat terkejut oleh ayahnya. Moodnya hancur begitu saja saat ini. Ia melirik ke arah sang kakak, seakan bertanya ada apa semua ini. Tapi sejak tadi Rival hanya diam menikmati makannya.

"Ya, karena kamu ayah fokusin buat pengobatan terlebih dahulu."

"Tapi, aku masih kuat sekolah yah." Revan berusaha menolak hal tersebut, ia ingin sekolah seperti biasanya. Ia ingin lulus dari sekolah bersama Zefan dan Rizki.

"Kondisimu udah nggak memungkinkan untuk melakukannya Van. Ini untuk kebaikan kamu juga."

"Tapi Yah, aku nggak mau."

"Nggak ada tapi-tapian ini untuk kebaikan kamu juga Van." Keputusan Rafi sudah tidak bisa diganggu gugat. Terdengar dari setiap kata yang keluar itu penuh penekanan. Ia hanya ingin yang terbaik untuk Revan.

"Aku nggak mau diperlakukan seperti orang sakit, aku mau hidup normal kayak biasanya Yah."

"Tapi kamu memang orang sakit Revan!" Bentak Rafi, Revan langsung menunduk mendengar bentakan sang ayah. Karena kondisi psikis Revan yang juga terganggu membuat anak itu menjadi sensitif. Ia tak lagi bisa menahan tangisnya. Ia menangis, lalu beranjak dari tempatnya. Mengurungkan niat sarapannya.

"Revan! Duduk kembali dan sarapan!" Seru Rafi tapi tak di dengar oleh Revan. Ia mempercepat langkahnya menuju kamar.

"Udah Yah, lanjut makan aja, nanti biar Ival yang urus Revan." Ucap Rival kali ini, ia tak ingin ada keributan kembali di rumah ini. Cukup semalam keributan itu terjadi. Sejak semalam ayahnya memang sudah emosi.

Masih hangat di ingatan Rival bagaimana ia dimarahin oleh ayahnya, karena membawa Revan keluar malam-malam dan pulang dalam keadaan kondisi Revan yang buruk. Semalam Revan hampir pingsan, ia sempat mimisan hebat sesampainya di rumah. Rival cukup dewasa menanggapi keadaan ayahnya semalam, meskipun ia menjadi sasaran kemarahan. Siapa yang tak marah ketika seharusnya pulang adalah istirahat. Tapi, malah melihat anaknya dalam keadaan memperihatinkan.

Rival tau ayahnya terlalu khawatir, sehingga membuatnya emosi ditambah lagi beban sang ayah yang kian bertambah. Rival tau betul biaya pengobatan Revan tidak sedikit. Disisi lain Rival juga tau ayahnya takut kehilangan Revan.

"Yah, aku tau banget ayah khawatir dengan kondisi Revan, aku juga Yah. Tapi, seharusnya ayah bicara baik-baik dengan Revan. Kalo ayah bicara baik-baik sama Revan. Dia pasti ngerti Yah dan aku nggak suka ayah bentak-bentak Revan kayak barusan." Rival menasehati sang ayah sebelum ayahnya beranjak.

"Iya maaf Val, yaudah ayah berangkat dulu ya." Rafi berjalan keluar sambil menenteng tas kerjanya.

"Hati-hati Yah, tenangin diri ayah ya." Seru Rival, Rafi menengok dan menganggukan kepala.

"Mbok buburnya udah siap?" Tanya Rival.

"Sudah den, ini mau mbok antar ke den Evan."

"Biar Ival aja Mbok yang antar." Rival mengambil alih nampan berisi bubur dan air putih segelas.

"Loh, Aden kan harus ke kampus."

"Ke kampusnya siang mbok." Rival segera beranjak dari tempatnya menuju kamar Revan.

Tentang Dia RevanWhere stories live. Discover now