Revan Sadar

2.4K 201 17
                                    

Revan terbangun di sebuah tempat yang begitu asing untuknya. Hamparan padang rumput menyambut Revan. Ia menatap sekelilingnya, tak ada siapapun kecuali wanita yang sedang duduk di tepi danau dan dikelilingi oleh banyak kupu-kupu. Revan tidak tau dia dimana sekarang, tampat ini sangat sejuk dan indah. Ada aliran sungai jernih dan banyak pohon rindang. Revan melihat wanita itu melambai ke arahnya. Membuat anak itu tersenyum lalu berlari girang menghampiri wanita itu.

"Bunda..." Serunya sambil memeluk erat wanita itu. Entah bagaimana bisa ia bersama bundanya saat ini.

"Iya sayang." Wanita itu mengelus rambut legam milik Revan.

"Evan kangen bunda." Revan terisak ditubuh wanita yang sangat ia rindukan itu. Tubuh bundanya yang wangi membuatnya nyaman.

"Evan mau sama bunda, Evan capek bunda." Rengeknya.

"Revan, anak bunda yang hebat, belum waktunya Revan sama bunda. Nanti kalo udah waktunya Revan pasti sama bunda, nanti bunda jemput Revan kita sama-sama disini ya."

"Tapi bunda Revan udah capek, maunya sama bunda sekarang aja."

"Ayah sama kak Ival nanti sedih kalo Revan ikut bunda. Belum lagi molly kucing Revan nanti juga sedih. Mbok Sumi dan orang-orang yang sayang sama Revan nanti sedih kalo Revan ikut bunda. Revan sama mereka dulu ya." Ucap wanita itu mengusap rambut Revan.

"Tapi janji ya nanti kalo udah waktunya bunda jemput Revan."

"Iya sayangnya bunda, udah sekarang Revan pulang ya ke ayah ya sayang." Revan melepaskan peluknya dan menatap bundanya. Wanita itu sangat cantik. Rambut hitamnya tergerai panjang dan berkilau. Matanya jernih dan menyorotkan keteduhan.

"Yaudah iya Revan pulang lagi ke Ayah. Bunda baik-baik disini ya." Wanita itu tersenyum sambil mengacak rambut Revan.

"Iya sayang gih kembali ke ayah kasian ayah khawatir." Revan mengangguk lalu bangkit dari duduknya dan berjalan menuju cahaya putih di depannya.

"Jangan lupa jemput Evan ya bunda i love u bunda." Revan melambaikan tangannya sebelum masuk ke lingkaran itu.

Sudah 3 hari lamanya Revan tidak membuka mata. Tapi, kondisinya mulai membaik seiring berjalannya waktu. Ia melewati masa kritisnya. Revan juga sudah dipindahkan ke ruang rawat. Meskipun alat kesehatan masih menempel di badannya. Sore ini hanya ada Rival di ruang rawat Revan. Ayahnya ada urusan di kantor. Yang lainnya juga sibuk mengurusi kegiatan mereka dan belum kembali.

"Van, loe kapan bangun sih? Bangun dong Van kasian ayah, sejak loe nggak sadar dia jadi sering ngelamun." Ujar Rival sambil menggenggam tangan Revan. Sejak tadi ia mengajak Revan berbicara meskipun ia tau Revan tak akan menjawabnya.

"Bangun Van, katanya mau liburan, mau main basket sama gue, ayok Van bangun kita main basket atau loe mau keliling kota naik motor lagi sama gue?" Sekeras apapun Rival mengajak adiknya bicara. Revan tetap tak merespon.

"Maaf Van, maaf karena belum jadi kakak yang baik buat loe. Maaf karena waktu loe sehat gue selalu benci sama loe, tolong Van jangan siksa gue kayak gini, bangun Revan, loe denger gue kan dek?" Rival menunduk, air mata yang sejak tadi ia tahan menetes mengenai tangan Revan. Ia menangis sesenggukan sambil menggenggam tangan Revan. Entah kebetulan atau apa, tiba-tiba tangan Revan jarinya bergerak. Rival langsung mendongak menatap Revan. Ia melihat adiknya mulai membuka matanya, Revan sadar.

"Kak Ival." Panggil Revan dari balik masker oksigennya.

"Ja ja ngan na nangis." Tangan kiri Revan terangkat mengusap air mata sang kakak.

"Gue seneng banget akhirnya loe sadar, gue gue nggak nangis kok." Rival segera menghapus air matanya. Lalu ia memeluk Revan sebentar.

"Makasih karena masih mau bangun." Ucap Rival melepas pelukannya dan kembali menggenggam tangan Revan.

Tentang Dia RevanWhere stories live. Discover now