Gerilya Sang Maharaja

5.8K 161 77
                                    

Hiruk pikuk kota digantikan oleh suhu udara yang mulai menurun, satu persatu memasuki kawasan wisata. Aku hanya termangut-mangut ketika bus-bus besar, mobil pribadi hingga para rider saling berurutan untuk segera sampai.

Dari kejauhan begitu gagahnya gunung lawu, kabut tebal menghiasi puncaknya seolah ada sesuatu besar yang sengaja ditutupi oleh awan.

Setiba di Kemuning kami disambut oleh permai hijau yang berkolaborasi antara kebun teh yang memanjakan mata serta hamparan padi yang membuat ku terkesima. Gundukan-gundukan tak teratur dipisahkan oleh aspal kecil ini, kanan-kiri yang hanya terdiri dari perkebunan teh dan terasering padi yang terlihat bagaikan zamrud permadani.

Medan terus-menerus menanjak dan tak henti-hentinya berkelok, sebagai rintangan yang memaksa sang pengemudi bertahan dalam gigi-gigi rendah. Namun apalah artinya, jika Galang membabat habis jalan itu dengan 33 x 11.5 x 16 Simex Jungle Trekker.

Basecamp Lawu Barokah, begitulah mobil ini terparkir. Jam menunjukkan pukul 12.25 siang, namun waktu itu tempat parkir ini hanya menampung beberapa buah kendaraan. Sebuah mobil dan tiga motor. Tak begitu ramai, malah terkesan sepi karena memang hari ini, bukanlah hari libur nasional.

Kami berlima turun mobil. Raka, antusias dan penuh semangat. Berbanding terbalik dengan Senja, kekasihnya. Gadis itu malah terlihat lesu ketika menuruni mobil dan menuju ke warung di basecamp.

"Ehh.. Nja, rumah kamu deket ya dari sini ?" tanyaku kepada Senja ketika tiba-tiba teringat akan sesuatu hal.

"Em.. Ya gak lah, dua jam perjalanan paling kalau dari sini." gadis cantik itu terduduk sembari melepas sepatunya.

"Emangnya daerah mana ? Kok ane lupa ya."

"Blora."

"Kamu sakit ya ?" Raka seketika berada di samping Senja, ia mengamati wajahnya.

"Gak tau nih, tiba-tiba aja kepalaku pening."

"Ya udah, minum obat ya.. Aku tadi bawa obat-obatan."

Untuk menjaga tubuh agar kuat dalam pendakian, maka perjalanan ini diawali dengan makan di basecamp, kami berlima menyantap masing-masing satu piring sebagai bekal awal untuk hiking panjang ini.

Hawa sejuk khas lereng gunung menyeruak menyapu kulit. Jaket Shell sudah berpindah dari tas Carrier ke tubuh-tubuh kami.

"Nja, kok jaket kamu hijau ?" todong Gilang ketika melihat jaket yang di kenakan Senja.

"Iya nih.. soalnya yang lain baru aku laundry." jawab gadis kekasih Raka itu. Ia tersenyum dari raut wajahnya terlihat bahwa keadaannya sudah membaik.

"Emangnya kenapa, Lang ?" Raka mulai berdiri untuk bersiap menapak ke puncak.

"Gak apa-apa, berdoa aja semoga pendakian kita bisa selamat sampai kita pulang ke Jogja." Galang juga berdiri, ia yang akan memimpin pendakian ini.

"Amin." sahut kami serentak.

°°

Candi Cetho, konon dahulu candi ini adalah salah satu mahakarya yang pernah digubah oleh sang Prabu Brawijaya V. Undakan dengan 35 anak tangga yang tersusun memucuk yang kemudian diakhiri dengan dua gapura yang menjulang sebagai batas akhir sebuah Nista Mandala.

Kekagumanku berlanjut, sembilan punden berundak di sajikan sebagai hidangan pembuka. Aras demi aras saling tumpu membuka saraf dopamin mu lebih dalam pada rasa penasaran atas rentetan rahasia yang disembunyikan. Seiring langkahmu yang telah masuk pada cuplikan kisah Sudhamala, tak sadar hingga tibalah kau pada bagian akhir, bagian dimana mahakarya ini harus diakhiri.
Sebuah bangunan kubus, candi utama yang digunakan pemanjatan doa.

Hargo DalemWhere stories live. Discover now