Bulak Peperangan

3.9K 137 23
                                    

Raka, dia sama sekali tidak mencampuri urusan para lelembut itu, ia bahkan tak bertindak apapun ketika sosok yang bukan lagi seperti golongannya itu, melumat mesra bibirku.

Aku melihatnya yang tengah duduk bersila menghadap ketiga temannya yang telah tak sadarkan diri. Terlalu gila memang ketika pendakian kami malah disambut satu kompi makhluk-makhluk yang satunya. Manusia mana yang tidak shock ketika sosok-sosok yang berbeda asal penciptaannya itu malah berinteraksi secara gamblang.

Aku sedikit mensyukurinya, sebab yang datang bukan sosok-sosok pocong bermuka hancur dengan mata melotot yang menatapmu pada sela-sela pepohonan atau jeritan samar-samar dari kuntilanak, jangan kau anggap sosok itu ada di kejauhan, sebab kau tak tau bahwa sebenarnya dia ada di sekitar kita.

Serta, bukan sthula sarira dengan organ-organ tubuh yang sama sekali tak lengkap, seperti sosok makhluk tanpa kepala yang berjalan perlahan menenteng kepalanya yang berlumuran darah, atau mungkin sosok yang hanya kepala dengan organ dalam yang mengekor menjalar dibawahnya, serta seperti sosok tinggi besar yang menaggih tumbal nyawa yang diam-diam mengintaimu di balik bau khas telo pendem.

°°

Aku masih bertanya-tanya, bagaimana kami berlima bisa berada di sini. Bukan kewajaran, sehingga tercetus beberapa pemikiran yang mungkin bisa jadi pembenaran.

Pos V, bulak peperangan. Begitulah yang ku baca dari papan kayu yang terpasung mati pada sebuah batang pohon. Aku bisa melihat bayangan pepohonan yang terpendar cahaya purnama yang menerobos masuk melewati celah-celahnya. Sebuah sabana terbuka yang diapit oleh lebatnya vegetasi yang mengurungmu bersama bayang-bayang nyata jagat niskala.

Ingin rasanya membuka tenda namun apalah daya, aku masih memiliki tamu yang sepertinya masih ingin bercerita lebih lama.

Gadis jelita yang terlalu mempesona rasanya, jika aku menyebutnya sebagai sesosok lelembut. Namun aku tak bisa memungkiri karena dirinya memang termasuk kedalam jajaran makhluk itu.

Ia menangis, meski tak bersuara. Aku tahu, bibirnya memang terkatup. Rapat. Namun matanya ? Memberi tahu akan kegetiran macam apa yang pernah di laluinya.

Tak ada satupun bulu roma yang berdiri, justru welas asih yang ku rasakan. Ingin rasanya memeluknya, namun apakah lumrah ?

Tangan ku tergerak meraih lengannya yang jatuh di tanah, kutuntun perlahan tubuhnya menuju suatu kaldera Mauna Loa yang terasing di dinginnya samudra. Aku tahu dia membutuhkan ini, afeksi pada rengkuhan yang lebih intim dari pada penalaran kognisi.

°°

Dua badan yang masih bertaut, mesra. Ada sesuatu yang membebaniku, beberapa pertanyaan yang masih belum ku ketahui jawabannya.

"Katakan padaku, siapa kah dirimu.. Apa hubunganmu dengan Prabu Brawijaya lima ?" Ku rapatkan bibirku pada telinganya, dalam bisikkan lirih suara ini begitu masuk ke kepala.

Tubuh itu menggeliat membuka jeda diantara kami, "Aku hanyalah seorang wanita yang tak sengaja menjadi cinta pertamanya.."

Nafasnya berhembus jauh lebih tenang dari sebelumnya.

".. seorang yang di janjikan akan dijadikan sebagai satu-satunya permaisuri, ketika dahulu beliau belum menjadi pewaris tahta. Aku menunggunya, aku menantikan janji itu, namun ketika waktunya tiba ia justru menudingku sebagai perempuan yang haus akan kekuasaan."

Hargo DalemWhere stories live. Discover now