Biru Merindu

103 0 0
                                    

Dia tidak pernah melipat kaki bersila seperti orang yang sedang yoga. Namun punggungnya yang tegak lurus dengan hembusan nafas yang tenang tidak ada yang mengira dia tidak sedang yoga. Langit di atas ubun-ubunnya begitu mengerti seperti sedang menuruti apa yang diperintahkan Biru. Teduh disertai angin berhembus pelan menjadikan ketenangan Biru dalam semakin dalam sampai sebuah pekikan menusuk sampai ke dalam jantungnya.

"Arrrgh!" Biru mengaduh sambil memegang dadanya. Mukanya langsung memerah. Dia meringgis dan langsung melemparkan tatapan protes teramat sangat kepada pemilik suara. 

"Maaf!" Aruni hanya nyengir kuda tanpa benar-benar merasa bersalah. "Kakak semalem ingkar janji lagi. katanya mau pulang? Aruni sampe kerongcongan nungguinnya."

"Aku kan cuma gak pulang. Apa hubungannya dengan keroncongan?" 

"Ih...pura-pura dalam perahu."

Biru tersenyum mendengarkanya. Jika dia bersikukuh masih pura-pura tidak mengerti maka Arunida akan mengeluarkan taring dan menghisap darahnya. 

"Semalem Jingga berbisik untuk menunggunya sebelum fajar di sini. Makanya kakak gak pulang."

Arunida menjulurkan lidah. Biru sudah terlalu sering mengerjainya sampai dia hafal kronologis yang akan terjadi. Biru akan terbahak-bahak saat Aruni bergembira loncat-loncat senang karena Jingga akan datang. Berarti Aruni akan mendapatkan hadiah sisa-sisa bintang jatuh yang bisa membuatnya terbang. 

"Ayo pulang." Biru mengapit kepala Aruni dengan tangan kanan ke arah tubuhnya. Seberapa pun Aruni berusaha melepaskan diri akan percuma, jadi pasrah dan mengikuti Biru adalah pilihan yang tetap. Tepat sepuluh langkah mereka beranjak dari titik nol arah timur tiba-tiba mendung menyergap. Mendung yang datang karena akan menyampaikan surat rahasia dari dewa-dewa kelabu tentang kesedihan.

*

Langit berjalan dalam diam. Matanya menagkap hal yang aneh. Samar-samar langit kelabu bergerak mendekati dua orang konyol yang menurutnya berpenampilan sangat aneh dengan jeans beleb yang sangat lusuh, sepatu kets, dan kaos yang agak sempit dan si perempuan yang di sampingnya--dia berpikir mungkin si adik--lebih aneh lagi dengan sepatu boots, celana agak cubrai, dan kemeja jeans yang sudah sangat tipis. Wajah dua orang itu berseri tanpa bisa disembunyikan walau mereka berpakaian yang amat tidak pantas di abad dua puluh satu kecuali hanya orang pinggiran kelompok Langit. Tetapi mereka berdua bukan kelompoknya sama sekali. 

"Apakah dia baik-baik saja?" Langit samar-samar menangkap suara bulat lelaki jangkung itu dari tempatnya bersembunyi. Langit mengernyitkan kening. Lelaki itu berbicara dengan awan kelabu yang ada di atasnya. Kemudian awan itu akan mendesau seakan menjawab pertanyaan lelaki itu. Gerimis kecil sesaat turun di atas kedua orang itu. Hanya di atas mereka, hanya dari awan kelabu yang berada di atas dua orang aneh itu. Langit menelan ludah melihatnya. Mata elangnya ingin menebus langsung ke dalam hati, namun tidak berhasil. Seperti dua sisi magnet yang bermuatan sama. 

"Samapikan salam kepada Jingga." 

Awan itu lenyap dalam satu kedipan mata. Langit mencarinya mengelilingi langit dengan matanya. Tidak ada. Dia benar-benar hilang.  Dia juga kehilangan dua orang tadi setelah si adik itu memanggil lelaki jakung yang berbicara dengan awan tadi.

"Kakak Biru masih sangat memikirkan Kak Jingga ya?" dan seseorang yang dipanggil Biru itu mengangguk dengan lembut sampai Langit bisa merasakan ngilu seperti apa di hatinya. sakit dan sesak.

Zzzzrrrt... 

Id-card Langit bergetar. Id-card khusus dari kelompoknya. Sebuah pertanda agar segera menuju markas. 

Cinta Separuh DewaWhere stories live. Discover now