Namaku Alamanda

76 0 0
                                    

Alamanda menggeliat. Matanya sedikit menyipit karena sinar matahari diam-diam masuk melalui jendela kamar yang sudah terbuka. Sesuatu yang sudah terjadi semalam harusnya bisa dikendalikan oleh Alamanda. Dengan masih berselimut dia menatap langit-langit dan mulai membangun ingatan tentang apa yang terjadi semalam. Sekelebet bayangan tinggi dengan wajah yang enak dilihat memapahnya dari depan bar samapai di rumah. Wajah mommy yang panik dan mengoceh panjang lebar sampai mata yang...menakutkan karena begitu mempesona.

"Wake up, Honey!"

"Mom..." Alamanda menggeliat. Sebelah tangannya sudah ditarik perempuan separuh baya yang masih terlihat sangat cantik. Siapa pun yang melihatnya tahu betapa dia sangat menjaga penampilannya. "Manda masih ngantuk."

"Gimana gak ngantu kalo kayak semalem. Kamu harus hati-hati mereka itu di mana-mana."

"I did, tapi emang dasar. Ah...shit! Ini gara-gara lelaki bule kurang ajar itu." mama Alamanda mememelototkan matanya sebagai tanda protes atas ucapan anak semata wayang yang kadang sudah terlewaat manja. 

"Dia itu tetep your dad! jada mulutmu."

"Tiri!" Manda bangun dari tidurnya dan berjalan ke arah kamar mandi. Setelah sepuluh tahun terakhir seorang pria berkebangsaan Belanda dihormatinya menjadi pengganti ayah yang sudah lama meninggal, Manda mendapati fakta betapa berengseknya bule gila itu. Sudah menggelapkan uang, dia juga meninggalkan hutang di mana-mana yang membuat Manda gagal menikah dan selalu dikejar-kejar debtcollector. 

Suara shower terdengar. Manda duduk dengan memangku lutut. Dia ingat bagaimana Smesta melepaskan cincin dari jari manisnya kemudian dengan enteng memutuskan pertunangan yang seharusnya lima bulan lagi menikah. Alasan terkuat yang diberikan Smesta--dan masuk akal--hanya karena Manda memiliki kronologi keluarga yang bisa menurunkan derajat keluarganya. Ada sesak yang tiba-tiba memukul dadanya seketika saat itu. Dia mnahan tangan di dadanya berkali-kali agar masih sanggup untuk bernafas. Makan malam yang dikira Manda sebagai pelepas rindu karena sudah satu minggu mereka tidak bertemu ternyata menjadi akhir dari segalanya. Ingin rasanya Manda melemparkan gelas berisi anggur merah dengan merk mahal itu ke muka tanpa ekspresi Esta--panggilan Smesta. Hanya saja dia ingin Esta sakit dengan tidak apa-apanya. 

"Oh ya sudah!" ucap Manda saat itu. Dengan gerakan setenag mungkin Manda bangun dari duduk dan meninggalkan tempat itu. Susah payah rasanya menahan semuanya setenag itu. Air mata yang berdesakan ingin keluar dari sudut matanya sudah diambang batas pertahanan. Manda tidak ingin menangis di depan Dandi. Tidak untuk saat itu. Tanpa sadar Manda sudah sesugukan di bawah shower. Menangis keras sampai dia harus membekap mulutnya agar tidak terdengar keluar. Tapi percuma.

"Honey, are you ok?" ibu Manda mengetuk pintu kamar mandi dengan panik.

Manda hanya mengangguk tanpa bisa menjawab sedikit pun. Suaranya sudah tertelan oleh sesak yang menyakitkan. Tenggorokannya tercekat. Benar-benar sakit sampai ke jantung yang berdetak cepat. 

"Huuh." jawaban pendek setelah lima menit Manda berusaha untuk tidap apa-apa. Pikiran bodoh mengejeknya. Seperti mata elang yang malam itu sedikit diingatnya. Mata itu...juga mengejeknya, dan mempesona. Sangat.

Butuh waktu setengah jam berdamai dengan perasaan. Air memang bisa membuat Manda selalu merasa lebih baik. Air itu selalu membuat kita jujur pada diri sendiri. Selallu membuat kita lebih rendah hati untuk berpikir kadang harus menggunaan hati. 

"Tidak ke kantor?"

"It's my holiday. Tadi udah telpon ke kantor buat hari ini. Kangen mama." Manda keluar dengan baju santai dari kamarnya. Mamanya memicingkan mata dengan tatapan menyelidiki. 

"Kamu gak apa-apa?"

Manda tersenyum secerah mungkin. Ibunya tidak harus tahu sekarang. 

"Aku masih Manda-nya mama." 

Manda yang selalu tersenyum dan menenangkan hati ibunya seperti air. Mereka kemudian sarapan dengan diam. Sampai Manda berusaha sekuat tenaga untuk tidak memikirkan Esta dan melakukan banyak hal dengan mamanya.

Aku akan baik-baik saja kan? gumamnya meyakinkan hati.

Cinta Separuh DewaWhere stories live. Discover now