Mata Elang

134 1 0
                                    

Langit memicingkan mata menatap segerombolan kawan-kawannya yang mereka sebut Randana--Pangeran Dunia Nirwana. Mereka tidak terlalu banyak hanya berlima. Angkasa menatapnya dengan tajam bahkan sudah seperti ingin memakannya hidup-hidup. Namun Langit biasa saja dengan tatapan santai mengistirahatkan badan dengan bersandar rileks di kursi. 

"Kamu yang paling keras di atara kita. Tapi....ah..." Esta memuang muka. Kedua tangannya mengepal keras. Gerahamnya bergetar menahan sesuatu di dadanya, sebuah kekecewaan yang begitu besar. 

Langit mengambil nafas panjang dan memperbaiki duduknya agar lebih tegak. Setelah setengah jam dia diam saja mendengarkan kawan-kawannya berbicara--lebih tepatnya menghakimi--kini giliran dia yang bersuara. 

"Dengar! Aku bukan apa-apa, hanya merasa perlu sedikit berempati saja." 

"Tapi kita ada bukan untuk itu! Munafik sekali kamu!" Bumi yang terlihat paling kesal. Tangan-tangannya sudah berubah kebiruan dan tandanya sebentar lagi akan beku. Demi apapun tidak ada yang menginginkan tangan Bumi sampai beku menjadi es karena semuanya akan hancur jika itu terjadi.

"Mata Alamanda begitu berkabut sepeti mendung sepanjang musim yang tidak hujan, tidak juga cerah."

"Kamu belum pernah memperhatikan calon tuai seperti itu."

"Tadinya aku juga tidak ingin peduli. Tapi mata itu..." seperti kilatan yang tiba-tiba hadir bayangan tatapan Alamanda yang begitu kelabu sampai Langit tidak bisa membaca apa yang sedang dia rasakan. Sampai Langit harus berkali-kali meyakinkan dirinya bahwa Alamanda memang tidak bisa dituai. Tuai adalah bentuk sebuah perjalanan di bawah sadar yang akan membuat calon tuai bahagia kemana pun tempat yang diimpikannya dengan bayaran jutaan rupiah. Jenis hipnotis yang baru dengan pertukaran rasa kebahagiaan sesaat yang akan dirasakan penderita tuai.

Mata Langit sudah berubah menjadi hitam penuh pada korneanya. Tidak ada lagi lingkaran dalam kecil yang akan berubah besar-kecil pada saat kita fokus melihat. Mata yang sudah menjadi mata elang yang menukik melihat anak ayam dan segera mngejarnya, menerkamnya. Semua Randana mundur dan bubar. Langit memang tidak bisa diapa-apakan lagi pada titik itu. Dia benarbenar sudah tertuai oleh Alamanda. 

"Kau tidak harus menemui Alamanda lagi." Bayu menepuk pundaknya keras. Langit tersentak seakan-akan baru berada di bumi lagi. Bayu tersenyum kepadanya sebelum berlalu dan meninggalkan Langit sendirian. Langit masih setengah sadar, apa yang terjadi padanya tadi sangat menguras tenanga. Sudah lama dia tidak merasakannya, merasa seolah-olah terbang ke langit ke tujuh dan tiba-tiba jatuh ke bumi dengan cepat. Sampai dia harus menutup telinganya yang berdengung, sakit. 

"Alamanda..."

*

"Kak, apa Kakak tadi merasakan sesuatu?"

"Apa?"

Aruni menelan ludahnya. Kata-kata yang tadi sudah di ujung lidah masuk lagi ke dalam tenggorokannya. Tiba-tiba semuanya menjadi sulit. Mulutnya menjadi kering dan sulit untuk bicara. 

"Dia..Aruni merasakannya lagi, Kak."

"Siapa? Marbia?" Biru menyebutkan salah satu pengasuh Jingga yang selalu bersikap galak.

Wajah Aruni langsung berubah. "Bukan. Tapi dia, si Mata Elang. Rasanya dekat sekali sampai jantungku berdegub begitu kencang. Sampai darahku bergitu teras bergetar dalam setiap alirannya. Semuanya bisa merasakannya."

Biru diam saja mendengarkan kata-kata Aruni. Sudah tujuh tahun tidak mendengarkan kata-kata serupa itu. Sudah lama sekali. Sampai otaknya hampir tidak tahu apa yang dikatakan adiknya. Si mata Elang, maka ingatannya bagai petir yang menggelegar dengan gunturnya mengingat Jingga. Mengingat dia yang menjadi debu satu-satu sampai hilang dibawa angin.

"Kamu cepat makan. Nanti Kakak akan pergi. Kamu di rumah saja." Biru tidak ingin membicarakan dia lebih lanjut. Biarkan saja, mungkin adiknya hanya kikuk saat melihat kabut pesan tadi. Ini baru yang kedua kalinya dia melihat ada kabut kelabu seperti mendung yang datang dengan pesan gerimis. 

Aruni mengangguk. Dia mengerti kakaknya masih tidak ingin membicarakan apa yang Aruni katakan. Mungkin sakit itu masih basah, belum kering benar untuk tidak diingat lagi. Aruni tahu seberapa sakit tujuh tahun lalu melihat si Mata Elang itu mengurai Pualam Hati Biru perlahan sampai tak bersisa. Tidak, dia menyisakan sakit berkepanjangan dan rindu yang tidak berkesudah di hati Biru. 

Siapa pun akan tahu jika terkadang semua tawa yang singgah di bibir Biru hanya untuk Aruni. Hanya dia yang membuat Biru bertahan. Punggung yang kokoh dengan bahu yang kuat dan dada yang bidang hanya ada untuk Aruni bersandar. Arunida, separuh peri anggrek yang telah menjadi nafas untuk Biru. Mereka dipertemukan saat Biru masih bersama Jingga, Aruni adalah peri Jingga yang paling disayangi karena dia yang selallu mekar. Namun semua mendung yang menggugurkn JIngga membuat Biru memilih menjadi separuh dewa dan pindah ke bumi. Tidak menjadi penunggang awan putih lagi. Dia tidak melihat Jingga hilang, hanya saja dia melihat mata yang menuainya, mata yang begitu tajam seperti ingin menembus jantung. Biru menghela nafas berat. Mengingatnya, membuat Biru begitu lelah membawa rindu. Rindu untuk Jingga.

Cinta Separuh DewaWhere stories live. Discover now