Separuh Dirimu Dia

83 2 0
                                    

Alamanda keluar dari apotik dengan beberapa bungkus obat dan multivitamin. Badannya terlihat lemas dengan pandangan mata sayu. Sudah dua hari ini dia baru bisa tidur satu jam sebelum matahari terbit. Satu tepukan di bahu membuat Alamanda menghentikan langkahnya dan berbalik. 

"Jingga..."

"Kamu siapa?" 

"Aku.... Kamu lupa? Aku sangat merindukanmu..." Biru mecoba meraih tangan Manda dan langsung ditepis.

"Aku gak kenal sama kamu."

"Apa kamu bener-bener lupa sama aku?"

Manda menghela nafas dan mulai melangkah lagi. Biru tercekat dengan cepat berpindah ke depan Manda.

"Demi bintang jatuh, aku selalu merinduanmu. Apakah kamu marah karena aku terlambat datang? Apa kamu..." 

Manda tidak bertahan lama mendengarkan celoteh Biru yang sama sekali tidak dimengertinya. Bergegas untuk pergi sebelum kesabarannya habis dan bisa bertindak yang memalukan atau mungkin sepatunya akan menancap di kepala Biru.

"Tunggu!" Biru menarik tangan Manda sekali lagi. Kali ini dengan sentakan lebih kuat membuat Manda hampir terjatuh. 

"Maaf. Bukan maksud saya untuk..."

Manda sedikit lagi akan menampar Biru sebelum dia sadar bahwa sedang berada di pinggir jalan. Tangan yang sudah terangkat diturunkannya lagi dan melonggos begitu saja. Kepalanya tiba-tiba sangat sakit. Matanya mulai tidak fokus terlebih karena menahan marah. Secepatnya Manda memanggil taksi dan segera pergi sebelum kepalanya pecah.

Siapa yang bisa mengira. Dadanya berdegub kencang lebih dari gelegar guntur melihat mata bulat yang sangat memesona itu. Masih sama memesonanya dengan tatapan mata tujuh tahun lalu. Mata Jingga ada dalam dirinya. Biru menghela nafasnya seperti telah kehilangan sesuatu.

"Kakak lagi mikirin apa sih?"

Biru menoleh. Arunida sedang memandanginya menunggu jawaban. Biru hanya diam dan kembali melihat langit biru. Berbaring di rerumputan seperti yang sedang dilakukannya telah menjadi indikator bahwa dia sedang memikirkan sesuatu.

"Aku bertemu Jingga tadi. Dia masih sangat cantik. Aku rasanya ingin sekali memeluknya."

"Hah?" Arunida tercengang seakan meminta penegasan apa yang didengarnya barusan adalah benar. 

"Dia sedikit pucat memang, tetapi aku psti tidak salah. Suaranya, aku tidak akan pernah salah. Hafal sekali dengan suaranya. Rasanya sudah terekam kuat di otakku." Biru masih duduk sambil menengadahkan kepalanya melihat hamparan biru di langit.

Arunida sebenarnya masih kurang percaya dan masih ingin bertanya banyak kepada kakaknya. Hanya saja melihat Biru sedikit bersedih maka Aruni mengurungkan niatnya. 

Sesaat setelah itu gerimis mulai turun. Sedikit demi sedikit mulai membasahi rumput tempat Biru duduk. Biru masih menengadah, namun kali ini matanya terpejam. Dia menarik nafas menikmati setiap rintik gerimis yang mengenai wajahnya. Setiap rintik yang jatuh dan luruh langsung ke tanah meninggalkan bias-bias warna warni seperti pelangi di udara sekitar wajah putih Biru. Saat seperti itu Biru akan bersinar dan siapa pun yang akan melihatnya akan heran. Separuh dewa dalam tubuhnya seperti tersiram air setelah berkepanjangan tandus. Beruap. 

"Kakak!" panggil Aruni keras mengingatkannya.

Biru membuka matanya dan menoleh ke arah Aruni. Melihat tatapan protes dari Aruni dia akhirnya beranjak. eninggalkan gerimis sendirian membasahi tanah dan menguarkan aroma kerinduan.

Cinta Separuh DewaWhere stories live. Discover now