29|

9.5K 446 32
                                    

KLEANTHA

Nggak terasa pengerjaan skripsi gue sekarang sudah dalam tahap Pembahasan. Itu artinya gue semakin dekat dengan baju toga dan gelar sarjana gue. Mendadak nggak sabar.

Seseorang menjentikkan jemarinya di depan mata gue, bikin gue mengerjap. "Jangan banyak bengong, nanti kemasukan setan, jadi gila."

"Sialan." Gue menabok lengan Kak Asta. "Jangan ganggu gue. Pergi sana!"

Bukannya menuruti omongan gue, Kak Asta malah duduk disamping gue sambil senderan di bahu gue. Gue menggoyang bahu sambil mencibir. "Ini kepala atau kelapa? Berat amat."

"Ya, tergantung. Kalau mata lo rabun berarti ini kelapa. Kalau mata lo normal berarti ini kepala."

Anjir! Rasanya pengin banget meremas kepala kakak gue satu-satunya ini. Kenapa rese banget? Nyidam apa Mama dulu pas hamil dia?

Gue bangkit dari sofa dan membuat kepala Kak Asta langsung jatuh nubruk sofa. "Bangsatful jamil!"

Gue terkikik mendengar umpatan konyol Kak Asta. "Wih, umpatan inovasi baru."

Mari kita tinggalkan bujang lapuk itu menuju bujang lapuk satunya--yang sepertinya sudah menanti kehadiran gue.

Gue menenteng tas laptop dan ransel berisi buku materi. Berasa balik jadi anak sekolah gue. Seperti biasa, gue bakalan bimbingan di rumahnya Pak Avra.

Ting Tung!

Gue menunggu dengan lengan kiri menyender pada dinding pagar. Tapi lama sekali Pak Tua itu membuka pintu.

Ting Tung!

Sekali lagi gue memencet bel rumahnya. Tapi tetap saja, setelah limabelas menit kemudian, laki-laki itu belum nongol juga.

Ting Tung!

Ting Tung!

Ting Tung!

Gue memencet bel rumahnya semakin bar-bar. Tapi batang hidungnya juga belum nampak. "Tadi janjian jam sepuluh, kan?" Gue kembali mengecek chat whatsapp yang dikirim oleh Pak Avra. Kali aja gue salah baca.

Si Bujang Lapuk

Nanti kita bimbingan jam 10 di rumah saya

Jam tangan gue malah sudah lebih dari jam sepuluh. Jadi apa nggak sih ini? Berasa lagi di-php. Anjir.

Ting Tung!

Ting Tung!

Ting Tung!

Masih belum kelihatan hilalnya.

Tolong ingatkan gue untuk santai, Pemirsa.

Gue coba melihat kunci pagar rumahnya. Nggak digembok. "Lah, nggak dikunci. Berarti ada di dalam dong?" Seketika itu juga gue pengin melempar batu ke arah rumah si bujang lapuk. "Molor ini pasti. Ah, sasar kutukupret!"

Akhirnya gue buka sendiri pagar itu dan berjalan gusar mendekati pintu utama rumah.

Tok.

Tok.

Tok.

"Assalamualaikum!"

"Selamat Pagi!"

"Permisi!"

"Spada!"

"Ada orang di rumah?"

"Hallo?"

"Anyeonghaseo!"

Gila. Sudah teriak-teriak seperti itu masih nggak dengar juga ini orang. "Jangan-jangan."

Nggak mungkin dia bunuh diri, kan? Alah, nggak mungkin banget. Dia kan sangat amat realistis dan bijak, masa iya bunuh diri?

I am You, You are MeWhere stories live. Discover now