Chapter 10

132K 13.1K 421
                                    

"Assalamualaikum."

Aku menatap pria itu dari atas hingga bawah. Menganalisa kelayakan seorang Aji dengan Andin Arkyasa. Dilihat dari tampang sih aku nggak kaget. Layak-layak aja sih tapi kan sikap Mas Aji tuh dingin banget. Lama-lama yang ada aku kasihan sama Andinnya, kalau dicuekin terus sama orang ini. Bisa dibilang secara visual, mereka terlihat layak tapi kompatibilitas antara sifat agak sedikit kurang. Mengenal Mas Aji yang pendiam dan Andin yang outspoken. Tapi juga Andin terkenal oleh sikap lemah lembutnya. Aku tak bisa membayangkan rumah tangga yang sunyi layaknya kuburan.

"Qia?" panggilnya. Aku segera menghapus lamunan konyolku barusan.

Kupaksakan sebuah senyuman merekah indah di bibirku. Wajahnya menunjukkan raut bingung ketika aku membantu melepas jaket lorengnya. Kaos hijau lumut yang basah akan keringat melekat pas di tubuhnya yang sudah ditempa bertahun-tahun semenjak di kehidupan AKMIL dulu.

"Tumben senyum?" tanyanya membuatku segera menghapus senyumanku barusan.

"Tumben? Kamunya aja nggak pernah lihat aku senyum. Pasti seringnya lihat senyuman sekelas penyanyi Bunga."

Mas Aji menggeleng singkat dan pergi meninggalkanku. Aku memicingkan mataku memperhatikan setiap gerakan yang ia lakukan. Hm? Tak ada respon yang mencurigakan, harus kuacungi jempol bahwa pria itu sangat baik mengontrol ekspresi wajah. Tapi tenang saja, bukan Qia namanya jika tidak ahli dalam urusan ulik-mengulik.

"Mama mana?" tanya Mas Aji. Telunjukku menunjuk halaman belakang kemudian pria itu menghilang dari balik pintu. Aku masuk ke kamar untuk menyediakan pakaian bersih berupa kaos polos putih dan celana pendek untuk Mas Aji. Tak lama kemudian Mas Aji menyusul ke dalam kamar untuk mengambil handuk.

"Mau makan lagi nggak?" tawarku. Pria itu tak mengatakan apapun selain menganggukkan kepalanya.

Aku ingin ikut bergabung dengan mama di halaman belakang tapi mama izin pulang terlebih dahulu karena sudah dijemput oleh Pak Ian. Aku pun menempati kursi di samping mama mertuaku. Kulihat segelas es krim yang sudah mencair tak disentuh oleh mama.

"Ma, mau tanya. Mama beli banyak-banyak es krim untuk apa,"

"Loh kamu nggak tahu? Aji itu kan camilannya es krim."

"Oh ya?"

Benar juga ya, kalau diingat-ingat lagi waktu aku berkunjung ke sini dulu untuk membicarakan perjodohan kami Mas Aji menyediakan semangkuk es krim yang pada akhirnya ia habiskan sendiri. Oh, aku juga ingat! Waktu aku berangkat ke apartemen senin lalu, Mas Aji juga tengah makan es krim. Aku tersenyum membayangkan sisi manis yang Mas Aji miliki itu.

"Iya, sejak dia kecil selalu cemilannya es krim. Kalau ciki-ciki gitu dia nggak suka. Maunya yang manis-manis, kue kering juga dia suka." Aku mengangguk dan membuat catatan untuk membuat kue di waktu luangku nanti.

"Kayaknya aku harus banyak belajar tentang Mas Aji deh," gumamku.

Aku mendongak dan melihat mama yang tersenyum Kalimatku barusan mendapatkan senyum tulus dari mama mertuaku. Ah, setidaknya aku benar-benar bersyukur karena mendapatkan mama mertua seperti Mama Wirya. Beliau sangat baik padaku, punya hobi yang sama juga denganku. Aku tak perlu khawatir lagi tentang konflik mertua-menantu jika mama mertuaku sebaik ini.

Kami duduk dalam hening menikmati matahari sore yang tak terlalu menyengat. Tak pernah kubayangkan akan seperti ini jalan takdirku. Mas Aji, Mama Wirya, dan Papa Wirya adalah orang asing yang kini menjadi keluargaku juga. Aku yang berjiwa bebas terjebak oleh keluarga baru yang menyenangkan. Meskipun aku belum bisa bilang menikah dengan mas Aji menyenangkan seutuhnya tapi pria itu adalah pria yang baik. Walaupun beberapa kali aku dibuatnya kesal tapi kadang wajah lugunya itu sering kali menghiburku.

Suck It and See (Complete)Where stories live. Discover now