Chapter 32

99.1K 10.5K 730
                                    

Semenjak hari pertama aku mengetahui Mas Aji akan bertugas di Maluku, aku berusaha sekeras mungkin untuk tidak merepotkannya terkecuali keinginananku untuk es krim pada pagi itu. Setelahnya aku selalu berusaha meredam keinginanku, jika pun sudah ingin sekali aku rela mengeluarkan usaha lebih untuk pergi membelinya sendiri atau membuatnya sendiri.

Belajar untuk memenuhi kebutuhanku sendiri tanpa bantuan Mas Aji dan pembiasaan diri tentunya.

Bahkan beberapa hari yang lalu aku membuat mie ayam sendiri dengan jari-jemariku ini. Dan berhasil! Mas Aji juga sempat mencicipinya. Dia mengaku bahwa masakan buatanku snagat lezat! Alhasil karena aku kebablasan dipuji enak, aku membuat lebih banyak dari seharusnya. Dua hari berturut-turut kami makan mie ayam karena meskipun sudah dibagi-bagi tetap saja masih banyak.

Aku hanya tak ingin merepotkan Mas Aji saja. Aku tahu Mas Aji berusaha sebisa mungkin untuk memenuhi kebutuhanku tapi setiap kali melihatnya aku jadi tak tega. Setiap malam ia tak bisa tidur. Mas Aji pasti resah atau mungkin sedang persiapan mental.

Setiap malam ia duduk di atas kasur bersamaku. Matanya memang tertutup tapi setiap aku bangun untuk ke kamar kecil atau pun minum, matanya terbuka lebar dengan sikap siaga. Pernah sekali aku memaksanya untuk mengistirahatkan punggungnya. Saat kukira dia tertidur, aku mengetesnya dengan melambaikan tanganku di wajahnya. Saat itu juga matanya kembali terbuka dan menatapku bingung.

Jadi, atas alasan itu lah aku tak ingin merepotkan lagi. Bukan sesuatu yang sulit bagiku untuk bersikap mandiri karena memang aku sudah terbiasa akan hal itu sebelum menikah dengan Mas Aji.

Hari demi hari berlalu. Mas Aji semakin sibuk dengan persiapan yang serba mendadak. Kami memiliki waktu bersama yang begitu singkat. Satu bulan berlalu pun rasanya seperti satu kedipan mata.

Waktu bersama hampir habis. Besok adalah upacara keberangkatan beberapa Kompi pasukan dari Kodam. Aku sebagai istrinya akan ikut hadir dalam pelepasan mereka. Rasanya melipat pakaian Mas Aji saja sudah sangat berat bagiku apalagi besok. Semoga saja aku tidak menangis. Tak lupa kuletakkan kitab suci yang kubeli khusus dengan ukuran saku. Sehingga tak repot dibawa kemana-mana.

Tadi sore mama dan papa menyempatkan diri untuk berkunjung untuk memberi semangat Aji. Mas AJi lebih banyak menghabiskan waktunya bersama papa. Entah petuah apa yang papa berikan tapi ia menghabiskan waktu jauh lebih lama dengan Mas AJi ketimbang dengan anaknya sendiri.

Setelah makan malam bersama barulah keduanya kembali pulang meninggalkan aku yang harus memeriksa lagi semua kebutuhan Mas Aji.

"Kamu baik-baik saja hari ini?" Tanyanya saat menyusulku ke dalam kamar. "Tidak mual?"

"Tenang aja, aku baik-baik saja. badanku enak-enak saja."

Matanya masih menatapku khawatir. Aku memang baik-baik saja saat ada Mas Aji. Tapi di saat ia pergi kerja, entah kenapa dorongan di perutku sangatlah kuat. Berkali-kali aku mual hingga lemas. Tapi saat Mas Aji pulang, staminaku seketika melonjak dan aku menjadi kuat lagi. Aneh tapi nyata adanya.

Aku tertawa kecil melihat alisnya yang berkerut. "Aku nggak apa-apa, Mas. Nggak usah berlebihan begitu, ah."

"Saya khawatir."

"Nggak usah dipikirin. Kamu tuh seharusnya khawatir sama diri sendiri dulu. Setiap malam begadang. Nggak pernah istirahat."

"Qia?" panggilnya sambil mengulurkan tangannya.

"Hm?"

Segera kuraih uluran tangannya. Aku berdiri di hadapan Mas Aji yang duduk di samping tasnya.. Tanganku mengelus kepalanya yang sudah kembali rapi dengan rambut cepaknya. Disaat seperti ini aku menelusuri setiap lekuk wajahnya untuk kuingat.

Suck It and See (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang