01

197 9 9
                                    

"Greenland?!"

Mataku mengerjap cepat, tak percaya pada omongan papa yang kelewat ngawur. Aku tahu benar papa adalah seorang astronot dan sangat tahu kalau papa menyukai hal-hal berbau alam semesta. Tapi, apa wajar beliau mengajakku ke Greenland hanya untuk melihat nebula?

"Tanggal dua puluh lima April nanti, nebula bisa dilihat jelas dengan mata telanjang, Sara. Kau harus lihat bersama papa."

Decakan bibir keluar begitu saja dariku. Tidak biasanya papa begini. Apapun yang berbau angkasa dan antek-anteknya sekalipun tak pernah boleh kucampuri. Memandang bulan lewat teleskop papa juga tidak boleh, alasannya hanya "barang papa ya harus papa yang pakai", alhasil, ia membeli satu teleskop lagi untukku pribadi. Benar-benar boros.

"Tanggal dua puluh lima April...."

Aku ingat persis tanggal itu. Dua tahun lalu, dimana pemandangan ajaib menghiasi langit kota. Semua orang sampai keluar rumah untuk melihatnya, tak terkecuali aku. Seluruh stasiun tv nasional mengabarkan peristiwa langka itu. Masih tercetak jelas di ingatanku.

"Jarang-jarang nebula terlihat setiap dua tahun sekali. Dan setelah dua puluh lima April, nebula baru akan terlihat dengan mata telanjang dua ratus tiga puluh lima tahun lagi." Papa tersenyum tipis, membuat hatiku goyah. Mana bisa aku tidak menghiraukan keinginan papa?

Sebenarnya, melihat nebula melalui teleskop bukan suatu hal yang sulit. Tetapi, melihat secara langsung adalah pengalaman yang takkan bisa dibeli dengan harga apapun. Dan kalau soal papa, ia pasti akan rela pergi ke ujung dunia sekalipun untuk memburu nebula. Aku tahu, memang. Sangat menakjubkan. Tidak heran jika papa sangat menginginkannya.

Aku mendesah kecewa. Jujur, ingin aku melihat nebula juga, tapi di sisi lain diriku malas keluar rumah untuk menantang maut, alih-alih rebahan di kasur sambil menonton televisi dan makan snack. Awalnya aku sempat berpikir menolak ajakan papa dan berencana diam-diam menggunakan teleskopnya untuk mengamati rasi bintang.

Akhirnya, kata "baiklah" yang keluar dari bibirku. Papa langsung semringah. Hal yang paling membahagiakan bagiku adalah melihat senyum papa.

"Besok kita akan berangkat. Tidurlah yang nyenyak."

***

Papa adalah tipe orang yang sangat sangat tepat waktu, juga disiplin. Kulirik jam dinding berbentuk snowflakes di atas cermin, lalu berjengit kaget dengan waktu yang ditunjukkannya. Baru pukul tiga pagi, tetapi papa sudah membangunkanku. Aku mengucek mata sebentar, lalu menggosok gigi. Iya, aku tak berniat mandi sepagi ini.

Di ruang tengah, kulihat barang bawaan papa sudah siap sepenuhnya. Sementara aku, belum mempersiapkan apa-apa, membuat papa mengomel sebentar tentang begitu lambatnya diriku, lalu—seperti biasa—ia menyamakan diriku dengan Sloth.

Kupikir bawaanku hanya sedikit. Tetapi malah sebaliknya. Satu tas ransel besar milikku terisi penuh.

Setelah merapikan diri diiringi sedikit pose di depan cermin, aku mengambil ponsel sekaligus pengisi daya. Aku sampai lupa mengabari Stacy dan Aquila perihal kepergianku yang bertajuk perburuan nebula 25 April. Aku yakin seribu persen mereka akan kaget. Padahal, seharusnya mereka memaklumi kekonyolan papa.

Kuketikkan pesan singkat kepada Stacy dan Aquila: Aku akan pergi berburu nebula dan akan kembali setelah beberapa hari.

Stacy yang sedang online langsung membaca pesan dariku dan menyerbuku dengan puluhan kalimat heboh. Aku selalu malas jika harus membalas pertanyaannya di saat-saat begini. Dia pasti akan terus-terusan bertanya sampai baterai ponselku habis walaupun sudah kujawab secara rinci.

Rentetan bunyi klakson mobil memaksaku buru-buru mematikan telepon dan melesat keluar rumah. Sudah ada paman Jack dan papa di dalam mobil. Aku baru teringat kalau tidak mungkin kami ke Greenland menaiki mobil, jadi tugas paman Jack  hanyalah mengantar kami sampai bandara dan selebihnya akan menaiki pesawat. Diam-diam aku lumayan penasaran bagaimana reaksi paman Jack saat diminta mengantarkan kami, tetapi mengingat beliau adalah adik papa, jadi mungkin menurun kekonyolannya. Di bayanganku, percakapan papa dan paman Jack semalam begini:

Papa: Besok aku dan anakku akan pergi ke Denmark untuk melihat nebula. Tolong besok kau antarkan kami ke bandara. Mobilnya akan kutitipkan padamu.

Paman Jack: Oke.

"Ada apa, Nak?" tegur paman Jack saat menyadari diriku terkikik geli di dalam mobil sendirian.

Sontak aku menggeleng sambil berkata, "Tidak ada." Lalu paman Jack hanya ber-oh ria dan menyalakan mesin. Untunglah di silsilah keluarga kami tidak ada yang memiliki kekuatan brainware atau semacamnya. Kalau ada, bisa-bisa aku didepak keluar dari mobil.

***

Ternyata pesawat dengan tujuan Greenland tidak sesepi dugaanku. Malah, kulihat setiap tempat duduk terisi penuh. Aku meneguk ludah, merasa tidak siap untuk penerbangan melelahkan ini. Aku tidak pernah ke sana sebelumnya.

Udara dingin di dalam pesawat karena AC sudah cukup membuatku menyesal karena hanya memakai tiga lapis baju. Bagaimana jadinya aku jika terjebak di dalam pesawat  dua puluh dua jam tanpa pemberhentian? Berada di dalam pesawat satu jam saja sukses membuat mataku pedih, hidung sakit, dan napas sesak. Aku hanya bisa berdoa semoga kami berdua baik-baik saja sampai setibanya di sana.

Kududukan pantatku di kursi bernomor dua puluh empat sementara papa tengah membereskan barang-barang kami. Kemudian, ia mengambil tempat di sebelahku—nomor dua puluh lima. Aku mengeratkan jaket kesayangan pemberian mama di ulang tahunku ke empat belas, berharap ada kehangatan yang tercipta di setiap inci tubuhku. Omong-omong, aku tidak berniat untuk melakukan apapun di pesawat selain tidur.

"Pa, tolong bangunkan aku bila sudah sampai," kataku pada papa pelan. Sebenarnya aku yakin akan terbangun dengan sendirinya sebelum pesawat ini mendarat.

Papa mengangguk, kemudian tersenyum. "Baiklah, selamat tidur."

***

Nebula: As A Simple Magic ✔Where stories live. Discover now