02

97 5 0
                                    

HAL PERTAMA yang kudapati adalah kegelapan seutuhnya.

Kurasakan kakiku dalam keadaan antara menapak kegelapan atau mengambang di udara. Tidak ada setitik pun sumber penerangan. Yang kutahu, tanganku berusaha meraba-raba sekitar, berharap ada benda yang dapat dijadikan pegangan.

"Papa?"

Tidak ada jawaban. Hanya gema suaraku yang memecah kesunyian. Aku sadar, diriku tidak lagi berada di dalam kendaraan bersayap baja, seorang diri, dan tanpa adanya papa di sisiku.

Anehnya, aku dapat berjalan meski tak tampak lantainya. Langkahku begitu ringan. Sangat ringan malah. Aku berlari kecil, kemudian semakin cepat sampai-sampai kurasakan sensasi terbang di udara.

Keadaan sekeliling berubah secepat kedipan mata. Seolah-olah aku baru saja keluar dari gua kegelapan yang berbatasan langsung dengan dunia sihir.

Benar-benar berubah. Bukan lagi kegelapan yang menyelimuti diriku, melainkan perpaduan cahaya warna hitam, merah, jingga, dan biru. Kutolehkan kepala ke kanan dan kiri, lalu ke bawah dan ke atas, masih sama: gugusan bintang yang luar biasa indah.

Inilah pemandangan yang papa cari-cari. Awan putih diselubungi cahaya yang bertabur bintang, tampak seperti glitter yang berkelap-kelip: Nebula. Senyumku mengembang sempurna. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi pasti aku tak ingin keindahan ini cepat berakhir.

Sayangnya, papa tidak ada di sini. Mungkin saja, papa berada di tempat lain, tengah mengagumi hal ini sama sepertiku. Ketakutanku seolah lenyap begitu saja, walau kutahu hanya aku seorang diri di antara gugusan bintang. Diotakku hanya ada pikiran konyol untuk menjelajah setiap sisi.

Kurasakan kaki masih dalam keadaan mengambang. Saat aku mencoba melangkah, ajaibnya aku benar-benar bergerak. Iya, aku dapat berjalan. Kuputuskan untuk berlari diiringi lompatan kecil. Begitu ringannya sampai-sampai hanya dalam satu langkah, tubuhku sudah bergerak beberapa meter.

Tahu-tahu penglihatanku mendapati planet bercincin yang sering kubaca di buku astronomi milik papa. Entah berapa jarak yang memisahkan antara aku dan Saturnus, tetapi planet itu terlihat begitu besar.

Menurut buku yang kubaca, cincin Saturnus tidak lain terbuat dari debu, bebatuan, dan gas berbahaya. Tetapi, aku tidak merasakan apapun, alih-alih kejang-kejang karena terlalu banyak menghirup gas beracun. Dengan santainya aku berjalan di atas cincin Saturnus yang sewarna zamrud.

Setelah bosan, aku mengatakan kalimat perpisahan sebelum akhirnya berlari meninggalkan Saturnus. Aku tak tahu ke mana tujuanku, yang jelas, aku terus berlari dengan senyum lebar seperti orang sinting.

Kurasa, aku pergi terlalu jauh, karena kini kudapati Andromeda dan Bima Sakti yang tampak kecil. Sekelilingku kini terdapat banyak nebula dengan beragam warna yang berpadu apik, serta langit hitam legam bertabur bintang sebagai background nya.

Baru sadar, jaket kulit warna cokelat masih melekat di tubuhku. Tanganku memeluk tubuh yang perlahan mulai menggigil. Suhu turun drastis ketimbang saat berada di Bima Sakti. Barangkali ini karena jauhnya posisiku dengan matahari.

Belum sempat aku menjelajah lebih luas, tahu-tahu diriku tak lagi berada di antara kumpulan nebula dan gugusan bintang. Semuanya seolah berganti secepat kilatan cahaya. Yang kudapati sekarang adalah kaca jendela pesawat yang gelap karena matahari telah terbenam, serta papa yang tengah terlelap di sisiku. Napasku naik turun tak teratur. Aku kelelahan. Entah kenapa.

Kulirik papa mulai bergerak tak nyaman karena suara troli yang didorong oleh seorang pramugara tampan. Mata papa perlahan terbuka. Saat mendapati diriku sama-sama tengah terjaga, lantas ia berkata, "Kau sudah bangun?"

Anggukan kaku dariku merupakan pertanda bahwa aku tak sepenuhnya yakin dengan apa yang barusan terjadi. Kemana perginya nebula dan galaksi?

"Papa, aku melihat nebula—"

"Oh, kau pasti sudah tidak sabar melihatnya ya, sampai terbawa mimpi," potong papa dengan kantung mata yang masih berat. Ia tertawa kecil. "Sabar, ya. Mungkin satu jam lagi kita sampai."

Aku terdiam, merenungi ucapan papa. Jadi, yang kulihat tadi hanyalah mimpi? Itu berarti, diriku telah tertidur begitu lama.

Kutolehkan kepala ke kiri, berusaha mencari sesuatu yang dapat dilihat dari kaca. Sayangnya, aku tak menemukan apapun. Tersisa kegelapan yang mulai membuatku bosan. Jujur, masih agak jengkel karena pemandangan antariksa berlalu begitu cepat.

Secangkir Cappucino yang papa sodorkan kuterima dengan senang hati. Masih belum kusesap, hanya jemari yang menempel pada cangkir untuk menemukan kehangatan. Mataku memandangi kepulan asap beraroma harum tanpa berkedip,  sementara pikiranku disibukkan dengan peristiwa langka dua tahun lalu: Hari dimana nebula terlihat di langit Manhattan, bertepatan dengan isak tangis seluruh keluargaku, minus papa yang entah kemana tanpa bisa dihubungi.

Aku memilih meletakkan cangkir kopi itu dimeja kecil, lalu mengeluarkan pena dan buku catatan bergambar aurora. Butuh waktu lama sampai akhirnya tanganku bisa berkolaborasi dengan otak untuk menjalin beberapa kalimat. Di lembaran kertas itu tertulis bahwa hari ini, tanggal dua puluh empat di bulan ke empat aku mengambang di angkasa lepas, melihat banyak nebula, rasi bintang, Andromeda, dan berlari di atas cincin Saturnus.

Aktivitasku terhenti, bertepatan dengan suara seorang pramugari yang mengumumkan bahwa pesawat ini akan segera tiba di landasan pacu, Greenland.

***

Nebula: As A Simple Magic ✔Where stories live. Discover now