04

63 6 1
                                    

PUKUL sembilan belas lewat tiga belas menit aku dan papa bersiap. Dengan membawa kamera serta ponsel untuk mengabadikan momen, kami meninggalkan penginapan usai mengunci pintu dan menutup rapat jendela.

Malam ini, langit cerah. Tidak diselimuti awan tebal, dan tidak turun salju. Begitu tenang. Kulihat beberapa kendaraan yang hilir mudik, tetapi tidak sedikitpun mengusik kenyamanan.

Kabarnya, papa telah menyewa mobil jeep sebagai kendaraan kami. Sorot lampu jalan yang terang memudahkan mataku menemukan mobil jeep yang papa bicarakan. Di dalamnya sudah ada seorang pria, yang mungkin seusia papa. Kutebak, pria itu adalah sopir kami.

"Apakah Anda Mr. Robert?" tanya pria itu. Ayah mengangguk sebagai jawaban.

Kami bergegas memasuki mobil, kemudian pria itu menyalakan mesin dan membawa kami entah kemana.

"Kita akan pergi kemana, Pa?" tanyaku pada  papa setengah berbisik.

"Ke suatu tempat dimana kita dapat melihat nebula dengan jelas."

Lagi-lagi, jawaban papa tidak membuatku puas. Aku hanya mendengkus dan duduk diam.

"Sebentar lagi kita akan sampai." Pria itu berkata di balik kemudi, membuatku mengernyit.

Dia membawa kami ke suatu tempat yang cukup jauh dari pemukiman. Sekeliling kami hanya ada es dan padang salju. Jelas aku tak mengerti kenapa kami diberhentikan di tempat ini. Pikiran buruk bercokol di kepalaku. Aku takut jika aku dan papa ternyata ditipu lalu sesuatu yang mengerikan terjadi.

"Cepatlah turun, Sara." Suara papa membuyarkan imajinasiku. Ternyata mobil yang kami kendarai telah berhenti. Aku bergegas turun dari jeep dan bersembunyi di balik punggung papa layaknya anak kucing.

"Telepon aku, bila tak memungkinkan, gunakan walkie talkie lalu aku akan segera kembali," ucap pria itu seraya menunjuk benda hitam persegi panjang di genggaman papa dengan gerakan mata. "Semoga harimu menyenangkan, Mr. Robert."

Kuembuskan napas panjang yang sedari tadi tertahan. Dalam diam, kulihat papa yang tengah membenarkan ransel di punggungnya.

"Tidakkah papa berpikir bahwa pria itu cukup menyeramkan?" ujarku—mengeluarkan pertanyaan yang sejak tadi ingin kulontarkan —seraya melirik ke arah mobil jeep yang kami tumpangi perlahan menjauh.

"Kau tidak perlu khawatir," jawab papa
santai, membuatku merasa sedikit lega.

Aku mengekori papa, entah kemana tujuannya. Salju setebal dua puluh senti mempersulit langkahku, ditambah penerangan yang hanya berasal dari senter membuatku hampir terjatuh beberapa kali.

Penerangan yang minim membuatku terlambat menyadari bahwa kami tidak sendiri. Di tempat ini, ada beberapa orang yang duduk diam di atas karpet hangat anti air. Mereka seperti tengah menunggu kemunculan sesuatu. Kata papa, mereka seperti kami, orang yang rela jauh-jauh kemari hanya untuk menyaksikan fenomena alam.

Aku dan papa mengambil tempat, ternyata papa juga telah menyiapkan karpet kecil. Beberapa detik selepas membenarkan posisi duduk, papa menyikutku, kemudian gerakan matanya mengisyaratkan kalau aku harus melihat ke langit.

Benar saja. Setitik cahaya hijau kebiruan tiba-tiba muncul dan mulai bergerak diudara. Perlahan cahaya itu semakin melebar. Seperti menari di atas dentingan piano. Sungguh indah dan mengesankan. Papa bersiap dengan kameranya, sedangkan diriku bergeming menyaksikan pertunjukan alam yang tiada banding. Aku tak mau melewatkan setiap kesempatan mataku untuk mengamati pergerakan cahaya itu. Apapun, pasti sesuatu yang dilihat oleh mata secara langsung berkali lipat jauh lebih indah. Kutanamkan ingatan ini di otak kuat-kuat, supaya nantinya tak kabur dihempas waktu.

"Aurora Borealis," gumam papa di sampingku.

"Indah sekali," komentarku pelan. Mataku tidak bisa lepas dari aurora yang mengalun anggun di udara.

Entah apa yang terjadi, setelah sepuluh menit aurora itu mendadak lenyap. Kedipan mataku bahkan tidak bisa menjelaskan. Karena, semuanya terjadi begitu cepat. Seolah-olah tirai langit disingkap secara kilat. Sepuluh menit pun belum cukup untuk memandangi aurora itu lamat-lamat.

Aku menautkan alis, bingung. "Apa yang terjadi?"

Tidak ada jawaban dari papa. Beliau masih berada di sampingku, duduk dengan mata yang tak pernah lepas dari langit. Kameranya pun masih berdiri di atas tripod, merekam peristiwa ini.

Aku hanya mengikuti arah pandang papa dalam diam. Langit yang tadinya hitam bersih tanpa benda langit, berubah seratus delapan puluh derajat. Di atas kami, milyaran bintang menghampar. Awan berselimut cahaya mulai bergerak membentuk jalinan yang padu. Akhirnya, apa yang kami cari muncul. Nebula. Tak hanya satu, tetapi ada beberapa nebula dengan beragam warna yang apik. Guratan  cahaya kuning bercampur jingga di atas sana mulai bergerak membentuk pola spiral. Sungguh indah. Aku bahkan kehilangan kata-kata untuk mendeskripsikannya.

"Itu galaksi Triangulum," ujar papa.

Aku terhenyak dengan mulut menganga. Galaksi yang kutahu sedemikian jauhnya dapat terlihat dari bumi? Aku benar-benar sulit mempercayai semua ini. Aku berubah pikiran. Aku tak menyesal jauh-jauh pergi ke Greenland untuk menyaksikan peristiwa ini.  Aku tak ingin melupakan pemandangan ini barang sedetikpun.

Tiba-tiba sekelilingku lenyap, seolah tertelan kegelapan. Hanya tersisa aku, papa, dan langit yang semakin menampakkan pesonanya. Aku mengerjap. Cahaya senter membuatku sedikit lega karena masih memperlihatkan kehadiran papa. Tapi, aku tidak mengerti kemana perginya orang-orang di sekitar kami.

"Disinilah papa dihari mamamu mengembuskan napas untuk yang terakhir kalinya," ujar papa usai menghela napas berat. Mataku membulat. "Papa benar-benar minta maaf, Sara."

Si cantik aurora kembali menampakkan wujudnya. Tampak lebih indah dari yang sebelumnya. Cahaya hijau, biru, dan ungu berpadu. Mengalun lembut, begitu memanjakan mata.

Mataku kembali menatap papa yang tiba-tiba terbatuk. Batuknya tidak berhenti sampai-sampai tangan pucat yang ia gunakan untuk menutupi mulut mulai bersimbah cairan kehitaman. Saat kusorotkan senter lebih dekat, darah merah pekat terlihat. Papa masih terbatuk, mengabaikan serentetan pertanyaan yang kulontarkan mengenai keadaannya.

Dadaku sesak. Napasku naik turun. Suaraku tercekat di pangkal tenggorokan. Panik, aku menggunakan bajuku sebagai kain lap untuk membersihkan darah. Kuabaikan tarian Aurora Borealis yang semakin membahana, hingga hamparan salju putih pun berubah warna karena tersiram cahayanya. Air mata yang tak kuasa dibendung pun akhirnya tumpah. Aku terisak di samping papa. Batuk papa perlahan mereda, namun tidak dengan darahnya.

Aku sama sekali tidak mengerti. Sebelumnya, papa baik-baik saja. Bahkan, tak sedetikpun menunjukkan tanda-tanda dirinya sakit. Atau mungkin, aku saja yang tidak terlalu memerhatikan papa. Entahlah.

"Dulu papa tak sempat menyaksikan nebula bersama ibumu. Maka dari itu, papa mengajak kau kesini, Sara." Suara serak papa membuat dadaku bertambah ngilu.

"Tidak. Papa, apa yang terjadi?!" seruku panik. Aku bahkan tak bisa mengontrol emosi.

"Papa ingin melihat nebula untuk yang terakhir kalinya bersamamu."

"Jangan bercanda," tukasku dengan penglihatan yang sudah buram oleh air mata. Pun tak peduli soal ingusku yang kemana-mana.

Segala kemungkinan buruk simpang siur di pikiranku, walau aku tidak berniat memikirkannya. Aku tak ingin, kali kedua dalam hidupku, tepat di tanggal dua puluh lima April, orang yang kusayangi pergi untuk selamanya.

Nebula: As A Simple Magic ✔Where stories live. Discover now