05

99 6 5
                                    

SANGAT sulit bagiku untuk membuka mata.

Perlahan tapi pasti, samar-samar kulihat jam dinding berbentuk kepingan salju di atas cermin. Tepat pukul sepuluh malam. Hening. Sampai-sampai suara desiran angin tertangkap gendang telingaku.

Aku terduduk. Kuraba kedua mataku yang membengkak. Kemudian aku bangkit, menghampiri jendela dan menyibak tirai. Aku mematung saat mendapati kegelapan penuh di luar sana. Perumahan dan gedung pencakar langit menghilang, seolah hunianku berpindah ke daerah terpencil.

Detik itu, langit gelap seolah tersingkap. Digantikan oleh pemandangan ribuan bintang di atas sana. Nebula bermunculan. Perlahan. Membentuk jalinan dan pola-pola yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Aku langsung teringat akan hari dimana mama pergi. Mendadak kepalaku luar biasa pening. Air mataku meluncur membasahi pipi tanpa aba-aba. Penglihatanku tidak lagi memandang kagum kemunculan nebula, melainkan menerawang pada wajah pucat mama yang terbujur kaku di ruang tengah.

Lalu papa. Sekelebat ingatan tentang darah yang merembes ke dalam salju putih, membuat air mataku lagi-lagi pecah. Kepalaku pusing. Mataku berat. Kupegang erat nakas agar tubuhku tidak limbung. Perlahan, sekelilingku menggelap. Dan aku kehilangan kesadaran.

***

Kesadaranku pulih seutuhnya. Masih bergeming, kutatap plafon kamar lamat-lamat. Lalu dinding yang bertempelan tata surya, tampak begitu jelas. Jendela terbuka lebar, membiarkan cahaya matahari masuk begitu saja.

Kuraih ponsel sembari mengubah posisi menjadi duduk. Pukul sepuluh pagi, tanpa ada notifikasi apapun. Tak ada satupun pesan dari Stacy ataupun Aquila. Pun tidak ada percakapan soal perburuan nebula. Raib. Tanpa sisa.

Fokusku beralih ke arah jendela. Semuanya tampak normal. Terlihat Ryon—anak paman Jack—tengah belajar mengendarai sepeda roda tiga di pekarangan rumahnya.

Lalu, aku teringat akan buku catatanku. Aku yakin, aku menulis sesuatu di sana. Sontak aku bangkit dan mengacak-acak isi ransel. Buku itu ada. Dan benar, di sana tertulis:

Tanggal dua puluh empat di bulan ke empat, aku mengambang di angkasa lepas, melihat banyak nebula, rasi bintang, Andromeda, dan berlari di atas cincin Saturnus.

Sebenarnya, apa yang terjadi? Buru-buru aku menggulir layar ponsel, membuka aplikasi kalender di sana.

"Dua puluh enam April," gumamku dengan mata memejam.

Baru teringat—

"Papa!!"

Aku berlari dengan napas memburu. Lagi-lagi mataku buram, mencari-cari sosok papa di segala penjuru rumah dengan panik. Tidak ada di manapun.

Barulah kuembus napas lega saat kudapati papa di halaman, tengah mencuci mobil bersama paman Jack. Aku bersyukur, papa masih ada.

Pria yang hampir memasuki usia kepala lima itu lantas menoleh. Mata cokelat terangnya berbinar. Sejenak, ia berhenti dari aktivitasnya. Begitu pula paman Jack. "Papa kira kau berhibernasi."

Aku tidak menghiraukan perkatakaan papa, alih-alih bertanya, "Papa tidak pergi ke Greenland untuk melihat nebula?"

Papa memandangku dengan kening berlipat, seolah di wajahku terdapat saus yang belepotan sampai ke dahi. "Bicara apa kau ini?"

Aku melongo, begitu juga papa dan paman Jack.

"Apa kau sudah lupa, tadi malam kau, ayahmu, dan keluarga paman melihat nebula bersama di rooftop dengan teleskop," sahut paman Jack, "hey, ada apa dengan matamu?"

"Mungkin kau tidur terlalu lama karena semalam kekenyangan, sampai-sampai matamu bengkak. Papa masih ingat betapa rakusnya dirimu saat menghabiskan kentang goreng yang disediakan bibi Merry," timpal papa diiringi tawa pendek. Tangannya terulur untuk mengelap kaca spion.

Aku masih diam, tidak bisa mengingat apapun kecuali nebula, aurora, serta papa yang kesakitan. Alisku bertaut, mataku menyipit, berusaha mengingat sesuatu.

Perlahan, ingatan soal bibi Merry, Ryon, dan paman Jack yang datang ke rumah dengan membawa sekeranjang kentang goreng menyelusup di otakku. Pun ingatan soal diriku yang bermain adu cepat makan kentang goreng bersama Ryon. Setelah itu, aku ingat kalau perutku kekenyangan dan mataku terasa berat. Aku memutuskan untuk masuk ke rumah dan tidur lebih dahulu, sedangkan mereka sibuk memandangi nebula sambil mengobrol ala orang dewasa.

Aku sudah mengingat semuanya.

"Papa baik-baik saja, kan?" tanyaku. Lagi-lagi papa memandangku dengan ekspresi aneh, kali ini seakan-akan anaknya memakai kostum Hulk di hari wisuda SMA.

"Semalam kau memimpikan banyak hal, ya?" Papa balik bertanya, kepalanya menggeleng prihatin. Mungkin, papa sudah salah mengartikan kalau aku ini tidak waras.

"Mungkin,"  jawabku ragu. Aku berbalik, memasuki rumah dengan termangu.

Mimpi, ya? batinku bergemuruh. Tetapi, semuanya terasa begitu nyata. Dan kenapa catatan itu masih ada? Setelah ini, aku akan memeriksa kamera papa untuk memastikan.

Walau begitu, aku bersyukur. Apapun itu, yang telah terjadi, seperti kata papa. Ya. Hanya mimpi.

***-END-***

Nebula: As A Simple Magic ✔Where stories live. Discover now