03

75 6 0
                                    


SETELAH turun dari pesawat sekitar dua jam lalu, kami buru-buru ke penginapan yang sudah papa pesan dari jauh hari karena udara dingin seakan menguliti tubuh. Badanku terasa remuk akibat penerbangan yang memakan waktu hampir sehari penuh, membuat otot-ototku mengejang karena merindukan kasur empuk nan hangat.

"Makan dulu, Sara," ucap papa saat mendapatiku di ambang pintu kamar, bersiap berguling di atas selimut.

Aku menghela napas, kemudian menghampiri papa yang tengah memasak mi instan. Perutku yang tadinya sudah lupa apa itu rasa lapar, kini berdemo minta pasokan. Apalagi, aroma kuah berbumbu micin itu bagaikan masakan bintang lima di hidungku.

Kududukan pantatku di atas bangku kayu yang terdapat di sisi meja makan kecil. Ponsel berwarna hitam kuaktifkan, setelah sedari tadi belum kusentuh. Sudah banyak notifikasi, terutama dari Stacy dan Aquila. Belum sempat tanganku mengetikkan beberapa kalimat balasan, sinyal mendadak hilang. Padahal, hampir saja aku berseru heboh karena kelewat senang menyadari di tempat seperti ini terdapat sinyal barang sedikit. Hal ini memupuskan harapanku untuk bersenang-senang selama beberapa hari kedepan.

Setelah menyiapkan piring dan sepanci mi panas yang menggugah, papa mengambil tempat di seberangku. Tangan pucatnya terulur meraih potongan kentang rebus.

"Sebenarnya di mana papa saat hari kematian mama?"

Seperti yang sudah-sudah, papa tidak kunjung menjawab. Tetapi, kali ini ia tidak mengatakan kalimat penyangkalan, alih-alih dengan jawaban, "Maaf. Papa belum bisa memberitahumu sekarang."

Terkadang terbesit di pikiranku apakah papa tidak sedih akan kepergian mama? Karena sepulangnya papa, tampak tak ada bekas air mata sedikitpun di pelupuk matanya.

"Kepergian mamamu sungguh hal yang menyakitkan buat papa, jika kau ingin tahu." Papa tiba-tiba membuka suara, membuatku terhenyak. "Tetapi papa tahu, semua hal di dunia ini akan menghilang pada waktunya. Jadi, papa rasa tidak ada alasan bagi papa untuk mengucurkan air mata."

Papa benar, tapi ucapannya sungguh ... keterlaluan.

Walaupun saat itu usiaku sudah lima belas, tetap saja air mata kesedihan tidak dapat kubendung. Apa semua laki-laki memang seperti papa? Menomorduakan perasaan dan lebih mengedepankan logikanya?

Piring makanku tanpa sadar sudah terlihat buram oleh air mata. Buru-buru menandaskan mi instanku sebelum papa menyadari mataku yang mulai berair. Aku tidak marah karena perkataan papa, hanya saja, mengingat kepergian mama tepat saat nebula itu muncul membuat hatiku berdenyut ngilu. Seolah-olah hal tersebut merupakan pengingat atas kepedihan kami.


***

Pagi di Greenland begitu tenang tanpa kokokan ayam ataupun dering alarm. Malam terasa begitu cepat berlalu, dan pagi datang tanpa aba-aba. Aku terduduk sembari menghilangkan bekas tidur dan kotoran mata di wajah. Rambut hitam sebahu kuikat biasa, lalu beranjak ke wastafel kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi.

Di ruang tengah, tidak kudapati papa di sofa. Hanya ada selimut putih yang ditinggalkan begitu saja tanpa dilipat. Ternyata papa meninggalkan secarik kertas di meja yang hampir saja kubuang sebelum mengetahui apa isinya.

Morning Sara.

Papa pergi keluar sebentar untuk cari angin. Jika kau ingin sarapan, ada roti dan telur di kulkas.

Kuhela napas pendek. Usai membaca pesan papa aku jadi tergoda untuk ikut cari angin. Tetapi, mengingat suhu udara di sini minus lima derajat walau matahari sudah menyingsing. Kuurungkan niatku, kemudian beralih pada telur dan penggorengan.

Layaknya gadis usia tujuh belas tahun, aku membuat sarapan lalu membereskan penginapan sembari menunggu papa kembali.

Sudah tiga puluh menit berlalu, papa belum kembali. Membuatku sedikit cemas. Segera kupakai jaket tebal dan syal cokelat susu serta celana panjang hangat yang kugantung di belakang pintu. Setelah memastikan pintu benar-benar terkunci, aku menyembunyikan benda itu di bawah pot sebelum akhirnya pergi dengan niat mencari papa walaupun—sejujurnya— keinginan untuk berjalan-jalan lebih dominan.

Karena malam tadi sumber penerangan minim serta rasa kantuk yang melanda, keadaan sekeliling jadi tak terlihat jelas. Barulah pagi ini semuanya tampak di mataku: perumahan dengan desain serupa, jalan setapak, danau beku, serta pegunungan berselimut salju yang berseberangan langsung.

Benar-benar pemandangan menakjubkan yang baru pertamakali kulihat secara langsung.

Tak ketinggalan untuk mengabadikan momen ini, agar nantinya aku dapat memamerkan kepada dua sahabatku. Aku yakin, mereka akan merengek seperti bayi karena menyesal kenapa tidak menawarkan diri untuk ikut.

"Sara!"

Aku berbalik, mendapati papa dengan kedua tangan yang tidak kosong—menenteng plastik berukuran sedang, berisi makanan kaleng.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya papa. Ekspresinya kelewat panik, seakan aku adalah bayi besar yang baru saja merangkak ke jalan raya.

"Papa lama sekali, jadi aku memutuskan untuk berkeliling sebentar," jawabku. Netra cokelat papa yang diterpa mentari membuatku terkesima sesaat. Terkadang aku merasa iri kenapa warna mataku menurun dari mama yang kelabu, bukan dari papa.

"Ayo kita kembali," ujar papa seraya menarik tanganku protektif.

"Tapi aku masih—"

"Malam hari akan jauh lebih indah dari ini."

***

Nebula: As A Simple Magic ✔Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin