Bab 6 Takdir bercanda

3.6K 207 0
                                    

Jun? Mengapa ia dipanggil Jun?
Apa yang sebenarnya ia simpan?

Aku jadi penasaran.
Bukan menaruh perasaan.
Aina menata hati pelan-pelan. Ia tidak terburu seperti cerita novel. Ia (bisa jadi) mungkin cinta akan bertumbuh. Tapi tidak sekarang. Ia mungkin punya suami, tapi tidak sepenuhnya ia masih betil beradaptasi. Antara hati, raga, dan isi otaknya.

Malam itu, seluruh keluarga sedang bersantai di rumah. Ada yang duduk di teras, di ruang tengah, di ruang makan bahkan para perempuan-perempuan sedang asyik haha hihi di dapur. Aina duduk di ruang tamu dengan sepupu kecilnya. Ia bermain, bergurau, bahkan berlari-lari kecil. Aina sangat menyayangi anak kecil. Makanya, dengan adik kandungnya, ia sangat menjaga dan sabar. Siapa lagi yang memberikan contoh itu kalau bukan ibunya. Ustadz Nabil duduk di teras bersama beberapa kerabatnya yang jiga datang dari pesantren. Sesekali ia melihat ke dalam, melihat Aina yang sedang menjaga sepupu kecilnya. Ustadz Nabil sering tersenyum dan mengalihkan wajahnya, alih-alih tersenyum karena pembicaraan para pria di teras.

Pukul 9.30 malam. Semua bersiap untuk beristirahat. Aina masuk ke dalam kamar. Ia sedikit panik.

Ini malam pertamaku tapi aku gak mau melewatinya. Aku harus gimana nih?

"Ya Alloh", ucapknya lirih. Bukan tak ingin karena ia benci Ustadz Nabil. Tapi ia masih terlalu kecil untuk 'sedekat' itu dengan Ustadz Nabil. Yang ditakutkan datang juga. Ustadz Nabil masuk ke dalam kamar. Aina kaget. Cepat-cepat ia berbaring dan menutupi badannya dengan selimut yang RAPAT.

"Aina", ujar Ustadz Nabil. "Kamu sudah tidur?!", Sambungnya. Aina memejamkan mata seakan-akan ia sudah tidur. Tapi pikirannya kacau. Ia tidak mungkin berbohong. Pikirannya kemana-mana. "Aaaaa.....", Ia sedikit berteriak. Ustadz Nabil pun kaget. Aina tak sengaja berteriak karena terlalu larut dalam imajinasinya. "Kenapa?!", Ustadz Nabil mengira ia sedang kesakitan. Aina masih menutup mata. Ia punya ide.

Aaaa.... Pura-pura ngigau.

"Kamu ngigau ya?", Ustadz Nabil sedikit melirik Aina. Aina pun tetap pada pendirian. Malam ini harus dilewati dengan mempertahankan kejombloanku. Mungkin begitu pikirnya. Ustadz Nabil tidur di sebelah Aina. Mereka saling membelakangi. Ustadz Nabil menata bantal guling di tengah kasur antara ia dan Aina. Ia juga memahami bahwa Aina memang terlalu dini untuk malam pertama, melayaninya. Pernikahan ini ada karena ada sebab khusus dan ia ingin menjaga Aina yang sudah rela menjadi istrinya dan melepas masa sekolahnya. Ustadz Nabil dan Aina tertidur pulas.

3.15 dini hari. Sebuah alarm berbunyi. Rupanya alarm Aina dan Ustadz Nabil di ponselnya secara kebetulan memang sama. Mereka nampaknya punya kebiasaan yang sama. Aina sedikit membuka matanya, namun masih berat rasanya.pun Ustadz Nabil, kantuk masih enggan berlalu. Sedikit demi sedikit mereka membuka mata. Samar-samar Aina melihat sosok wajah di depannya. Ustadz Nabil pun ketika 'memaksa' matanya terbuka, ia melihat Aina sebesar wajahnya.

Aina : "Haaa...."
Ustadz Nabil : "Ya Allah."

Ujar keduanya bersamaan. Nampaknya, selimut dan bantal guling bukan sebuah halangan yang kokoh. Kebiasaan tidur yang tak biasa entah pada siapa diantara keduanya membuat bantal guling 'terusir' juga. Keduanya tertidur sambil berpelukan. Pantas saja wajah mereka sangat dekat.
Keduanya secara reflek melepaskan tangan mereka. Muka mereka memerah. Rupanya takdir sebercanda itu pada mereka.

"Maaf, Ustadz. Bukan maksud saya. Saya juga tidak tahu kalau tangan saya disitu.", Aina nampak kebingungan.
"Saya juga, Aina. Saya juga bingung kenapa akhirnya kayak gini.", Ustadz Nabil keluar kamar menuju kamar mandi. Aina masih malu dan bingung dengan kejadian semalam. "Bajuku masih lengkap, Alhamdulillah.", Aina menghela napas panjang. Selepas sholat malam hingga sholat subuh, Aina bersiap-siap di kamar. Ustadz Nabil masuk ke kamar. Aina pura-pura tegar. Ia menggap semua tidak terjadi apa-apa. Anggap saja kesalahan alam sadar.

Ustadz, jangan jatuh cinta padaku [TAMAT]Where stories live. Discover now