Anindya 1

48.8K 1K 49
                                    

Ketajaman lidah itu menancap tepat di ulu hati Anin, hinaan dan makian yang dilontarkan perempuan paruh baya itu bak gunung memuntahkan lahar yang ribuan tahun terpendam. Lahar itu terus mengalir, tak memperdulikan akibat dari luncurannya. Panas, membabat habis dan membakar semua yang dilaluinya.

Tubuh Anin gemetar, sehina itukah dirinya di hadapan mereka? Hanya karena hidup sebatang kara bertemankan duka dan lara.

Sejenak, lahar berhenti mengalir namun netra tajam itu begitu nyalang menguliti tubuh Anin. Tatapan kebencian begitu nyata, membuat tubuh Anin luruh, menunduk. Kedua tapak tangannya  basah, dingin dan saling bertautan di paha. Gemuruh di dada semakin kencang, membuat nafas tercekat di tenggorokan.

"Dengar, Andre! Sampai kapanpun mama tidak akan menyetujui pernikahan kalian," murka Ratih, Giginya gemertak menahan emosi.

"Andre tetap menikahi Anin, dengan ataupun tanpa restu, Mama," balas Andre.

"Jika itu terjadi, jangan harap kau masih bisa menyandang nama keluarga Adiningrat dan tak sepeserpun kamu berhak atas harta keluarga ini," Ancam Ratih.

"Andre tak perduli dengan harta yang Mama gadang-gadangkan, begitu juga dengan nama keluarga Adiningrat."

"Semua gara-gara perempuan ini,  perempuan miskin yang hanya membutuhkan harta dan numpang hidup layak bersamamu," hina Ratih.

Kepala itu semakin merunduk dalam, tak sanggup rasanya menampakan wajah. Buliran bening mengalir deras di pipinya yang mulus. Ingin rasanya membantah ucapan itu namun lidah rasanya kelu.

Emosi Andre memuncak, merutuki  setiap ucapan yang keluar dari  mulut ibunya. Andre seolah tak mengenali perempuan paruh baya yang berdiri di hadapannya. Seorang ibu yang penuh kelembutan dan kasih sayang tak ditemukan lagi semenjak dia membawa Anin ke rumah ini. Apakah hanya karena Anin seorang gadis yang dibesarkan di panti asuhan, bisa membawa aib bagi kehormatan keluarga besar Adiningrat?

Andre meraih dan menarik tangan Anin pelan. Tak bergeming.
"Nin," panggil Andre lembut.
Perlahan Anin mengangkat wajahnya. Dada Andre tersentak, mendapati mata bening itu sembab serta pipi dan puncak hidung bangir Anin yang memerah. Hatinya terasa perih, rasa bersalah menghantui perasaan Andre melihat kehancuran perempuan terkasih.

Andre merengkuh bahu Anin, melangkah meninggalkan ruang tamu yang terasa panas dan hampa udara. Pendingin ruangan dan kemewahan yang ada di dalamnya tak mampu lagi memberikan kenyamanan bagi penghuni yang ada di sana.

"Stop, Andre!" perintah Ratih.

Tak diperdulikan kata itu, Andre terus melangkah.

"Sebelum keluar dari rumah ini, tinggalkan semua fasilitas yang kamu dapat dari Keluarga Adiningrat," kecam Ratih.

Andre menghentikan langkah, tanpa membalikan badan di keluarkan kartu kredit dan ATM dari dompet yang terdapat di kantong celana bagian belakang. Dirogohnya celana sisi kanan. Kunci kendaraan roda empat serta beragam kartu diletakan begitu saja di atas pajangan yang terdapat di depan pintu.

"Sekali kamu keluar dari rumah ini, jangan harap bisa kembali. Kelak kamu akan menyadari siapa perempuan itu. Tanpa harta  tak mungkin dia akan bertahan. Kau pasti akan ditinggalkannya. Penyesalanmu tak'kan bisa membuat mama luruh dan menerimamu," murka Ratih.

"Maafkan Andre, Ma," gumam Andre.

🍁🍁

"Maafkan Anin, Mas!" mohon Anin dengan suara serak.

Andre merengkuh bahu yang bergetar itu. Isakan lolos dari bibir Anin.

"Mas mencintaimu! Apapun yang terjadi kita tetap akan menikah. Apakah kamu sanggup dan mau memulai semua ini bersama, Mas?"

Istri yang TerbuangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang