Bab 16 - Not Prepared | 1

5.9K 493 2
                                    

SUDAH lima hari Ariel pergi, dan setiap hari dia selalu menghubungiku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SUDAH lima hari Ariel pergi, dan setiap hari dia selalu menghubungiku. Aku senang dia menelpon, dan aku kangen dia ada di sini. Apalagi belakangan ini Azura kelihatan kurang sehat. Aku nggak mau terjadi apa-apa pada anak itu selagi ada dalam tanggungjawabku.

Kuceritakan pada Ariel tentang Azura ketika gadis itu sudah masuk ke kamar. Barusan kami menonton serial kesukaannya sambil mengemil pizza. Memasuki bulan ke sembilan, dia kelihatan semakin cemas.

"Panggil dokternya aja." usul Ariel santai.

"Udah, dua hari lalu. Tapi berhalangan karena rupanya sedang seminar di luar kota." Kuusulkan membawa Azura ke rumah sakit terdekat. "Lagian, bukannya dia harus melahirkan di rumah sakit?"

Ariel mengiyakan, dan katanya dia dan sang dokter sudah punya rencana untuk Azura. Rumah sakitnya sudah ditentukan, kira-kira empat puluh menit dari sini. Aku minta nama rumah sakitnya. Jujur saja, aku cemas pada Azura dan ingin memastikan aku tahu kemana harus membawa dia dalam keadaan darurat.

"Pulangnya nggak bisa dipercepat?" tanyaku setengah kesal. Seandainya aku punya adik yang lagi hamil tua, kurasa aku nggak akan mau pergi terlalu jauh dan lama-lama.

"Nggak bisa, Babe. Malah nambah lama dua tiga hari. Selain undangan nikah, ada teman lain ngundang aku di grand opening usaha barunya. Teman dekat. Aku nggak bisa nolak. Apalagi ada kemungkinan kami akan kerjasama. Aku punya rencana bikin hunian baru di Jakarta bareng dia." Lalu dia terkekeh senang. "Kamu kangen aku? Belum juga seminggu."

"Nggak usah ge-er. Aku cemas Azura." tukasku kesal, walau dalam hati kuakui aku memang mulai kangen. Dua belas hari saja rasanya lama betul, sekarang malah mau jadi lima belas hari.

"Tenang aja, Pumpkin. Kalau kamu khawatir tentang Azura, hubungi Arka. Dia masih di Bali, tapi mungkin bisa pulang lebih cepat. Urusannya di sana sudah selesai, kok. Paling-paling dia lagi melepas penat."

Aku nggak menjawab apa-apa. Kalau nggak darurat sekali, rasanya aku nggak akan menghubungi Kak Arka. Sebisa mungkin akan kurawat Azura sampai Ariel pulang. Sepuluh hari lagi saja, kan, kalau lancar.

Sebelum tidur, aku memeriksa Azura di kamarnya.

Dia masih membaca-baca buku yang kubelikan tentang kehamilan. Timbul rasa iba dalam hatiku untuk gadis ini. Entah bagaimana kalau aku ada di posisinya.

"Tidur, Zura." ucapku sambil duduk di ujung tempat tidur dan menyelimuti kaki telanjangnya.

Dia menoleh, tersenyum lelah.

"Iya. Suka nggak bisa tidur karena banyak pikiran."

Jelas dia banyak pikiran. Apa rasanya, hamil tua tanpa punya pasangan? Usia masih muda, keburu hamil. Rencana masa depan terpaksa tertunda sementara. Mengasuh bayi bukan perkara mudah, apalagi sendirian. Azura berkeras tidak mengadopsikan bayinya – mungkin karena dia juga anak adopsi. Azura ingin membesarkannya. Begitulah yang dia bilang beberapa malam lalu.

"Kamu takut?" Tumben aku penasaran, padahal biasanya kurang peduli. Tapi Azura membuatku kasihan.

"Aku takut nggak bisa jadi mama yang baik."

Yah, kita sama. Aku juga takut itu.

"Kak Naya lebih suka Kak Ariel atau Kak Arka?" Tiba-tiba dia bertanya.

Jantungku sempat berhenti berdetak mendengarnya. Kenapa tiba-tiba Azura bertanya seperti itu? Sependek ingatan, aku nggak pernah dibawa oleh Kak Arka ke rumah selama kami berhubungan dekat. Selalu bertemu di luar. Dia menjemputku di sekolah dan kampus, mengantarku pulang. Selalu begitu.

Jadi kalau Azura tahu, mestinya dari ... Kak Arka sendiri.

Azura tersenyum menggodaku. Tampangnya persis anak SMU yang sedang usil. Kekanakan, lucu, imut. Kemudaan yang sebentar lagi dipaksa menjadi dewasa karena hadirnya bayi.

"Kenapa kamu nebak aku suka sama Kak Arka?"

"Bukan nebak. Kak Ariel yang cerita, kok. Beberapa malam lalu waktu Kak Arka nggak datang-datang, kata Kak Ariel mungkin Kak Arka belum mau ketemu Kak Naya."

Astaga Ariel. Harus banget ya ceritain ini pada Azura? Kalau dia pulang nanti, akan aku tegur supaya jangan cerita sembarangan.

"Lebih suka siapa?" ulangnya.

Kupaksakan sebuah senyum. "Kak Ariel. Dia cinta pertamaku."

"Ah, ya. First love never dies." Azura membelai perutnya. Pandangannya menerawang ke langit-langit, lalu ia menguap lebar. Tak mau mengganggunya lebih lama lagi, kuselimuti dia sampai ke dada, lalu kembali ke kamar Ariel. Kata-kata Azura tergiang lagi. Senyum mengembang di bibirku.

First love never dies.

Secrets Between Us [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang