Bab 21 - A Time to Think | 1

6K 512 3
                                    

San Diego Hills, Senin pukul 10

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

San Diego Hills, Senin pukul 10.38

TIGA laki-laki paling penting dalam kehidupan Azura berdiri di sebelah peti mati putih dengan ukiran keemasan. Ketiganya memakai setelan jas hitam keluaran butik ternama. Masing-masing memegang buket mawar putih dengan ikatan pita hitam. Om Abhiyasa, Kak Arka, dan Ariel, juga beberapa handai taulan dan kerabat, memakai kacamata hitam. Semua serba hitam, kecuali peti dan bunga.

Aku berusaha fokus mendengarkan seorang pria paruh baya dari pihak keluarga yang berduka sebelum peti diturunkan ke dalam liang. Ketika riwayat hidup Azura dibacakan, tidak disebutkan nama ayah kandungnya. Azura selamanya dikenang sebagai putri Bapak Edgar Abhiyasa (baru sekarang aku tahu nama depannya) dan Ibu Verena Jesslyn. Tidak disebut juga bahwa Azura meninggalkan seorang bayi perempuan. Memang tidak semua kenyataan bisa diungkapkan pada khalayak, apalagi kalau itu aib keluarga.

Setelah pembacaan riwayat hidup selesai, Om Abhi dan kedua puteranya menaruh buket-buket mawar itu di atas peti. Lalu dari belakang Ariel, seorang wanita berambut coklat sepunggung juga menaruh buket bunga serupa. Karena memakai kacamata hitam, dengan leluasa aku bisa memperhatikan perempuan itu.

Dia berpostur seperti model, cantik dan anggun dengan setelan serba hitam dan topi senada dengan jaring-jaring hitam dan bunga putih sebagai hiasan. Aku yakin dia ibunya Ariel, Tante Verena. Baru kali ini aku melihat sosoknya. Dia tinggi, berkulit putih, dan kelihatan berkelas. Kalau aku berdiri di dekatnya, mungkin bakal dikira pelayan pribadi.

Perempuan itu menggigit bibir ketika peti diturunkan. Sedang Om Abhi, Kak Arka, dan Ariel membuka kacamata hitam mereka untuk mengusap pipi yang basah. Aku juga menangis. Menyedihkan sekali rasanya, seorang gadis belia yang masa depannya masih begitu panjang, harus meninggal secepat ini. Menyedihkan karena anggota termuda keluarga itu justru yang pertama berpulang pada Penciptanya. Umur tidak ada yang tahu.

Aku tetap berdiri di sudut lahan seluas empat setengah meter persegi itu sementara keluarga besar dan pelayat lainnya menuju restoran, dimana sudah terhidang makanan ringan (pasti termasuk makanan berat juga). Karena nggak akan bisa makan, aku menunggu sampai peti selesai ditimbun. Para petugas pemakaman akhirnya selesai bekerja, lalu meninggalkanku sendiri.

Di atas gundukan tanah galian, aku menaruh beberapa tangkai mawar dan lili putih. Terbayang lagi keceriaan Azura, manjanya, gaya kekanakan yang masih sering ditunjukkan kalau kedua kakaknya datang, dan penilaiannya tentang kedua lelaki itu. Kak Arka serius, lembut, sabar; sedangkan  Ariel galak, bermulut tajam kalau marah, tapi penyayang. Azura belum pernah mengeluarkan pendapat tentang aku, tapi dia kelihatan senang waktu kubilang sedang membayangkan punya anak dari Ariel.

Juga aku ingat dia bilang lebih suka kalau Ariel yang membesarkan anaknya, kalau dia kenapa-kenapa. Apa Azura sudah punya firasat kalau hidupnya nggak akan lama? Apa dia sudah merasa kalau dia nggak akan sempat menimang bayinya? Kata orang, kadang orang yang mau meninggal itu punya firasat. Mungkin alam bawah sadar Azura sudah memberi peringatan padanya. Misteri kematian.

Sebuah tangan menyentuh pundakku. Terkejut, aku menoleh dan mendapati Ariel sedang menatap gundukan tanah yang sama. Kacamata hitamnya sudah dilepas, dan kulihat ada bayangan hitam di bawah mata.

Kuremas tangannya perlahan, dan dia balik menggenggam erat tanganku. Sejak kami bertemu Sabtu lalu, kami belum sempat ngobrol lama. Dia diutus Om Abhi menjemput ibunya ke Singapura, tempat tinggal wanita itu setelah bercerai. Baru hari ini kami bertemu lagi. Ariel belum tahu tentang pesan terakhir Azura tentang bayinya. Nggak ada yang tahu, kecuali aku, karena Azura cuma bilang padaku.

"Kamu nggak makan?"

Aku menggeleng, padahal perutku lapar. Tapi di setiap pemakaman, aku kehilangan nafsu makan – seenak apapun hidangannya. Apalagi ini pemakaman Azura, orang yang aku kenal baik.

"Kalau begitu, aku antar kamu pulang. Udah izin sama Ayah, mau duluan." Dia menarik pundakku, tanganku melingkari pinggangnya. Kami berjalan seperti itu sampai ke tempat parkir.

"Aku nyesal berlama-lama di Jepang." Ariel kembali bicara setelah setengah jam membisu dalam perjalanan ke Jakarta. Kubiarkan dia diam, karena aku sendiri lagi ingin diam.  "Seharusnya kan masih sempat ketemu Zura."

"Ssh, Riel, nggak ada yang tahu dia bakal meninggal secepat itu."

"Yang jelas dia lagi hamil tua dan bisa melahirkan kapan saja. Kenapa aku malah pergi jalan-jalan?" Ariel meninju kemudinya pelan. Rahangnya mengeras. Kalau dia sedang marah begini, kadang-kadang aku takut. Tapi Azura bilang, cuma aku yang bisa membuat Ariel sedikit lebih lembut. Apa benar?

"Kamu bukan jalan-jalan. Kamu mikirin perusahaan keluarga." Aku mendongak dan menatap matanya. "Kamu pernah bilang, jangan suka nyalahin diri sendiri kalau memang bukan salah kita, kan?"

Bibir merah itu terkatup rapat, seperti berusaha menahan kata-kata yang sudah di ujung lidah. Mungkin dia nggak suka diingatkan.

"Bayinya di mana?" tanyaku lagi.

"Apartemennya. Sama suster baru, Mbak Rina, dan pengawal pribadi."

Pengawal pribadi? Sejak kapan Ariel pakai pengawal pribadi?

Melihat aku bingung, Ariel tersenyum miris. "Ayah nggak mau orang tahu tentang bayi Azura. Nggak tahu gimana rencananya. Menurutku, mana mungkin ditutupi terus? Satu kebohongan pasti berbuntut kebohongan lagi. Kasihan bayi itu kalau jadi nggak tahu siapa orangtuanya."

Memang. Ariel betul sekali.

"Jadi menurut kamu, mendingan publik tahu Azura punya bayi?"

"Menurut kamu sendiri, gimana?"

Secrets Between Us [Completed]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora