Bab 19 - Di Ambang Batas | 2

5.8K 484 2
                                    

"Kenapa kita nggak terbang aja ke sana?" tanyaku gusar pada Kak Arka.

Sudah lewat dari pukul dua siang ketika Om Abhi pulang karena ingin istirahat. Langsung saja kupakai kesempatan itu untuk mengeluarkan isi kepala ini sejak pagi tadi.

"Mana ada penerbangan ke Tokyo kalau lagi bencana begini!"

"Ke kota terdekat, gimana? Bandaranya nggak ditutup juga, kan?"

"Naya,"

Suara Kak Arka sangat lemah. Pundaknya turun, matanya sayu. Dia lelah, aku tahu. Aku juga capek banget. Tapi nggak bisa tenang hati ini kalau belum dapat kabar tentang Ariel.

"Jauh lebih baik kita cari tahu dari sini. Di Tokyo, kamu mau cari dia ke mana? Kalau dia ada di Kedubes, pasti nelpon."

"Aku cuma ingin ngelakuin sesuatu," tegasku. "Nggak tahan rasanya, duduk di sini doang sementara Ariel mungkin lagi berdarah-darah ..."

Aku terisak. Sedih rasanya, nggak berdaya seperti ini. Kenapa Ariel belum menghubungi? Apa dia terluka? Apa dia selamat? Di mana sekarang dia? Ketidaktahuan ini sangat menyiksa.

Kak Arka bangkit dari duduk, lalu mendekatiku yang sedang berdiri di seberang sofa. Tanpa aba-aba, dia menarikku ke dadanya. Di sana aku menumpahkan semua rasa. Takut, sedih, putus asa, dan tak berdaya. Tangan Kak Arka membelai rambutku.

"Aku nggak akan menyerah, Naya. Semua nggak akan nyerah. Sabarlah. Tindakan buru-buru malah bikin kita nggak fokus dan rugi nantinya."

Aku mengangguk berkali-kali. Aku tahu. Aku paham. Aku cuma ingin melakukan sesuatu. Bukan cuma diam di sini dan menunggu.

"Aku takut, Kak ..."

"Aku juga. Tapi Ariel itu kuat dan keras kepala. Dia suka olahraga, jadi pasti cukup kuat untuk menyelamatkan diri."

"Kalau memang dia udah selamat, kenapa nggak hubungi kita?" cecarku gemas.

"Siapa tahu jaringan komunikasi terganggu? Gempanya lumayan besar, lho. Lagian pasti ricuh banget di sana. Lihat aja di berita."

Kak Arka mengendurkan pelukan. Keteduhan sinar matanya membuatku sedikit lebih tenang.

"Jangan pesimis, Naya. Kalau kita hilang harapan, nggak akan ada kekuatan untuk berpikir jernih."

Sepanjang sore kami terus berusaha mencari kabar. Kuhubungi teman-teman SMU dan kampus yang ada dalam daftar kontak, siapa tahu ada yang punya kenalan atau keluarga di Tokyo. Kak Arka juga sama. Aku menyesal banget karena nggak meminta nomor teman-teman Ariel yang mau ditemuinya di sana. Andai ada, mungkin saja sekarang kami sudah punya kepastian tentang kondisi Ariel.

"Teman-temanku yang punya kerabat di Tokyo juga sulit menghubungi mereka. Ada juga yang tinggal di Nagoya dan Kyoto. Di sana nggak kena dampak gempa, jadi nggak bisa kasih kabar juga." Kak Arka menyandarkan punggung ke sofa dengan kedua tangan di belakang tengkuk. "Capek ya? Aku antar kamu pulang?"

"Eh, siapa yang jaga Azura?" Tiba-tiba aku teringat gadis itu. Apa dia nggak akan curiga kalau aku dan Kak Arka nggak ke sana seharian?

"Mbak Rina sama staf Ariel dari kantor pusat. Ayah ke sana kok, sore ini. Aku bilang ke Azura, lagi ada proyek. Dia nggak nanya-nanya lagi."

Setelah mengempas tubuh ke sofa tunggal di depan televisi, aku merapal doa dalam hati. Saluran NHK masih menayangkan tentang gempa, tapi fotonya diulang-ulang sejak tadi pagi. Belum ada kabar terbaru. Bandara Haneda dan Narita juga belum beroperasi maksimal. Penerbangan ke kedua bandara itu dibatasi. Semua penerbangan Jakarta-Tokyo dibatalkan. Nggak ada jalan ke Jepang, kecuali ke kota selain Tokyo mungkin. Tapi buat apa? Jalur Shinkansen ke Tokyo juga terblokir. Dan aku nggak pernah ke Jepang. Bisa-bisa kesasar.

Aku menoleh ke belakang, ke sofa panjang. Kak Arka tertidur dalam posisi duduk. Iba hatiku melihatnya. Pasti dia capek seharian ini, capek jiwa, capek raga, capek pikiran. Nggak tega memintanya mengantarku pulang. Aku pulang sendiri saja. Atau justru tidur di sini saja.

Untuk ke sekian kali, jiwaku rasanya kosong. Nggak tahu kabar tentang orang yang kucintai itu seperti dibunuh pelan-pelan dari dalam. Kalau saja aku bisa menukar kabar dari Ariel dengan apa pun milikku, akan aku berikan.

Tapi untuk sementara ini, aku cuma bisa menunggu dan bersabar.

*

"Naya, makan dulu nih."

Suara lembut Elvira dan guncangan pelan di pundak membuatku terbangun. Mula-mula aku bingung kenapa ada di ruangan ini, tapi tayangan berita NHK segera membuatku teringat alasannya.

"Ada kabar?" tanyaku sambil duduk tegak. Kepalaku menoleh ke kiri dan kanan, mencari Kak Arka. Nggak ada siapa-siapa, cuma aku dan Elvira. Kupandang dia dengan raut muka bertanya.

"Pak Arka ke rumah sakit."

"Jam berapa ini?"

"Sembilan. Malam, bukan pagi."

Ya ampun, aku ketiduran! Dan kenapa Kak Arka nggak bangunin aku supaya ikut ke rumah sakit?

"Terus kamu di sini terus dari tadi?"

Elvira nggak menjawab. Dia duduk di sebelah, membuka dua bungkus nasi padang. Yang satu diberikannya padaku, yang menerima tanpa semangat. Tapi memang perutku lapar banget.

"Makan dulu," perintahnya.

Kami makan tanpa bicara. Pikiranku terus tertuju pada Ariel. Sudah tiga puluh jam lebih sejak gempa, dan belum ada kabar sedikit pun dari dia. Jiwaku terasa kosong.

"Ke mana Kak Arka? Kenapa kamu yang di sini?" tanyaku setelah selesai. Hanya sanggup menghabiskan setengahnya. Nafsu makanku hilang.

"Gue disuruh Pak Arka stand-by di sini. Lo tidur, dia nggak mau bangunin. Buru-buru juga perginya---"

"Kenapa buru-buru?" Kupotong kalimat Elvira. "Azura udah lahiran?"

Dia menggedikkan bahu.

"Tadi Pak Arka cuma bilang, Pak Abhiyasa manggil ke rumah sakit."

Segera aku meraih ponsel dan kugulir daftar kontak. Nama Ariel ada di daftar panggil teratas. Ariel, kamu di mana? Ingin rasanya mencoba menghubungi dia lagi, tapi kabar Azura lebih penting saat ini.

"Kak?" panggilku pada lelaki di ujung telepon.

Dia langsung menjawab. Suaranya serak. Kak Arka berdeham beberapa kali sebelum menyapaku.

"Naya? Ada Elvira kan di sana?"

"Ada. Azura kenapa?"

"Azura ... ehm ..., bayinya udah lahir setengah jam lalu."

"Azuranya gimana?"

Kak Arka nggak langsung menjawab. Aku lemas. Buruk! Ini pasti kabar buruk! Kenapa harus ada jeda begini?

"Di ruang operasi. Masih berjuang, Naya." Suara Kak Arka melemah.

Mungkin karena melihat mata yang mulai basah dan wajah yang tegang, Elvira meremas pundakku berkali-kali.

"Aku ke sana, ya, Kak."

Sambungan itu langsung kuputus. Elvira memandang dengan raut cemas ketika aku berdiri dengan cepat.

"Ke RS? Gue anter." Ujarnya sambil meraih tas dan mendorong punggungku supaya bergegas. 

***

Secrets Between Us [Completed]Where stories live. Discover now