Silence

109 8 0
                                    

Sunyi ruang hampa dapat membunuh nurani manusia, Mengapa demikian?

Minggu pagi di kediaman keluarga Adijaya nampak tenang. Tidak ada aktifitas yang berarti, kecuali para pembantu yang sibuk melaksanakan tugasnya masing-masing.

Rehan keluar dari kamar setelah membersihkan dirinya. Meski hari libur, kebersihan selalu yang utama bagi Rehan. Itulah ajaran dari keluarganya.

Kakinya melangkah turun hingga membawanya menuju ruang makan yang berdampingan dengan dapur. Bi Imah yang melihat lantas menghampiri dengan membawa beberapa masakan.

"Aden sudah bangun?" Rehan hanya tersenyum menanggapinya, lalu mendudukkan diri di salah satu kursi yang tersedia.

Rehan mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya. Mengecek sekiranya ada pesan masuk atau panggilan tak terjawab setelah semalaman ia tidak membukanya. Seketika muncul notif pesan dari grup kelas yang menurut Rehan tidak terlalu penting itu, memenuhi layar chatnya.

Namun fokusnya tertarik pada tiga notif panggilan tak terjawab yang dikirim oleh sahabat sebayanya beserta rentetan pesan spaming yang memintanya untuk segera meneleponnya. "Apa yang dia inginkan?" gumam rehan lirih yang hanya dapat didengar olehnya. Namun kegiatannya segeri terhenti ketika Bi Imah datang dengan membawa sepiring nasi goreng dan segelas susu putih sebagai sarapannya pagi ini.

"Silahkan di makan Den Rehan."

"Terima kasih, Bi." Rehan meletakkan ponselnya di meja makan, segera melaksanakan kegiatan sarapannya.

"Apa Ayah sudah pergi?" tanya Rehan sedikit ragu.

"Tadi Tuan Adijaya tampak terburu-buru, sepertinya ada urusan mendadak." Rehan mengangguk mengerti lalu melanjutkan acara sarapannya. Sekilas melirik ponselnya sekedar mengecek kembali pesan dari teman-temannya yang belum dibukanya tadi. Setidaknya dengan begini ia tak akan merasa kesepian.

Sesuai janji yang ia buat pada Darrel sebelumnya, Rehan bersiap untuk menemui sahabanya itu. Rencananya mereka akan menyelesaikan beberapa tugas sekolah yang belum sempat dikerjakan.

Sebenarnya ini hanya alibi Rehan, karena tanpa kerja kelompok pun ia sudah sangat mampu untuk menyelesaikannya sendiri. Hanya saja berdiam diri di rumah tanpa melakukan sesuatu itu terdengar sangat membosankan.

"Bi, Rehan akan pergi ke rumah Darrel dulu, mungkin akan sampai sore," pamitnya setelah melihat Bi Imah datang.

"Hati-hati Den Rehan, nanti akan saya sampaikan pada tuan." Mungkin terdengar biasa namun tidak bagi Rehan. Ia tersenyum simpul, lalu melangkahkan kakinya keluarmenuju mobil yang telah terparkir rapih di depan rumahnya.

Hahhh...

Rehan menengadahkan kepalanya sambil menutup mata. Mencoba menyingkirkan segala perasaan buruk. Ia jadi merindukan sosok sang kakak, sudah lama namun tetap saja tak ada yang berubah. Lagi ia hanya memendamnya.

"Ayolah Rey! Ini adalah hari libur, jadi nikmatilah," monolognya sebelum menjalankan mobil keluar dari halaman kediaman Adijaya.

*****

Di tempat lain nampak seorang pemuda dengan jas putihnya, tengah menangani seorang bocah kecil berpawakan buntelan kapas yang sikunya sedikit tergores karena terjatuh. Ia tersenyum setelah pekerjaannya selesai.

"Sekarang sudah tidak sakit lagi kan?" tanya dokter muda pada anak tersebut sambil mengusak kepalanya lembut.

"Terima kasih, Dokter."

"Hm..., sekarang jangan terluka lagi ya," ucapnya lembut.

"Terima kasih sekali lagi, Dok." Sela sang ibu yang dari tadi menyaksikan interaksi kecil tersebut.

[END] Butterfly : Hope For HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang