Peace

57 1 0
                                    

Tidak semua masalah harus terselesaikan dengan tangan



*****


Mentari menyingsing masuk melewati celah jendela yang terbuka. Farhan membuka matanya perlahan, mencoba mengumpulkan kembali nyawanya dengan meregangkan otot-otot tangannya. Diedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan, lalu menegakkan badannya.

Ia baru ingat kalau semalam ia menginap di rumah sakit. Ia terlalu malas untuk kembali ke apartemennya sekedar membasuh diri. Untung saja ada beberapa helai pakaiannya yang sengaja ia letakkan di ruangannya ini.

“Oh…kau sudah bangun?” sapa Felicia yang baru saja datang. Farhan mengangguk mengiyakan.

“Kau tidak ke klinik?” Tanya Farhan balik.

“Aku tadi sempat mampir dan meminta Suster Rena untuk mengawasi klinik sampai aku kembali,” terang Felicia. “Aku membawakanmu sup, makanlah selagi hangat.”

“Aku akan membersihkan diri dulu.” Farhan lalu beranjak untuk membersihkan diri.

Hampir 20 menit setelah kepergian Farhan, barulah pintu kembali terbuka menampilkan Farhan yang terlihat lebih segar dari sebelumnya. Kemudian Felicia menyiapkan makanan yang tadi ia bawa di atas meja sedang dalam ruangan Rehan. Lalu mereka mulai memakan makan itu dengan nikmat.

“Kau sudah menemui Dokter Steve?” tanya Felicia setelah acara sarapan mereka sudah selesai.

“Belum, mungkin setelah ini.”

“Kalau begitu aku pamit kembali ke klinik dulu,” ucap Felicia lalu mengecup singkat pipi kanan Farhan. “Jika ada sesuatu segera hubungi aku.”

“Hm... Hati-hati.”

Farhan mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja, mencari nama Dokter Steve lalu menekan tombol panggilan.

“Kau sudah di rumah sakit?”

“Baiklah, kutunggu di ruanganmu.” Lalu panggilan diakhiri Farhan. Ia lantas beranjak menuju ruangan Dokter Steve.

*****

Pagi ini Darell terlihat lesu, berbanding terbalik dengan dirinya yang biasanya ceria. Teman sekelasnya juga menanyakan tentang keadaannya dan perihal absennya Rehan.

Ia menjelaskan kepada mereka kalau hanya ada masalah kecil, dan tentang absennya Rehan ia mengatakan kalau sahabatnya itu sedang sakit. Mereka hanya mengiyakan dan kembali melanjutkan kegiatannya masing-masing.

Baik Darell ataupun Devano, tidak ada yang berbeda dari keduanya. Mereka terlalu larut mengingat kembali keadaan Rehan.

Seperti saat ini, jam istirahat sudah berbunyi sejak 10 menit yang lalu. Namun baik keduanya tak ada niatan untuk mengganjal perut mereka.

Mereka tengah duduk di pinggiran lapangan basket outdoor, tempat yang biasanya mereka datangi bertiga ini sekarang hanya tinggal berdua.

“Apa Kak Rehan akan membuka matanya lagi?”

“Apa yang ingin kau katakan sebenarnya? Rehan pasti akan bangun, ia hanya lelah.”

“Aku tidak yakin,” gumam Devano pelan.

“Apapun yang terjadi, baginya itu bukan masalah besar, selagi ada tempatnya untuk pulang. Dan sekarang Kak Farhan sudah kembali, jadi ia pasti akan baik-baik saja.”

“Pasti saat ini Kak Rehan sangat kesepian, disana tidak ada orang yang cerewet seperti Kak Farhan dan menyebalkan seperti dirimu.” Delikan tajam didapatkan dari Darell. Yang dilanjut menggeplak manja punggung kepala Devano.

[END] Butterfly : Hope For HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang