Balon-balon Pesan

12 0 0
                                    


Deskripsi malam dengan langit yang gelap, bintang mungkin sedang bersembunyi, dan bulan sedang malu karena tidak sedang ditemani gugusan bintang. Sore tadi sebelum matahari terbenam, langit sore kehilangan senja. Terlihat kelabu di langit sore hari itu. Mendung. Sudah dipastikan malam ini akan turun air tuhan dari langit-langit.

Tepat sekali, malam ini gerimis masih bisa terbendungkan. Masih rerintikan. Air tuhan belum membanjiri langit-langit. Bak pet bocor, masih menetes kecil.

Selain belajar bersama para santri, aku juga mengagendakan untuk selalu mengaktifkan data internet. Mungkin bisa sewaktu-waktu Halis menelfonku dari ponsel adik kawanku. Entah mungkin karena ini pengalaman pertamaku. Adikku dan santri lainnya berlibur, pada semasa aku telah memegang bahu seorang alumni. Cita rasa menjadi seorang santri dan alumni itu, amat berbeda. Mungkin itu alasannya aku mengagendakan.

"Ustad!" Seorang santri menghampiriku.

"Ya, kenapa?"

"Belajar, tad." Dia mengajakku belajar. Tapi sudah kupastikan akan bilang,

"Kalau pelajaran ini, ustad nggak faham."

Asal kau tau, itu adalah usahaku untuk menolak belajar dengannya. Karena yang kumaksud, dia adalah salah satu santriku yang paling tidak aku suka sikapnya. Seorang anak lelaki yang sedikit kemayu, beralem manja. Ingin sekali dapat perhatian, bukan maksudku kalau dia sedang cari perhatian. Hanya karena selalu merasa konyol dengan sikapnya, ditambah batunya ia. Selalu ia melempar jawaban setelah aku berusaha menjauhnya dengan cara apapun. Buatku tambah tidak menyukainya.

"Tad." Sekali lagi dia memanggil.

Usahaku tinggal satu kali lagi, setelah aku tidak ingin meresponnya. Aku memilih diam kacang.

Sekarang dia menatapku yang sedang membaca balon-balon pesan digrup keluarga. Sungguh ini sangat privasi, tapi ia malah memperbaiki duduknya, mendekat dan mengintip mengintip segala pesan-pesan keluargaku. Bukannya itu membuatku nyaman setelah ia datang, malah membuatku tambah membecinya. Ingin mencaci maki, tapi itu bukan aku yang pembenci dan bukan malah memperbaiki.

Tombol power disamping kanan tepat dibawah tombol volume, telunjukku meraba-raba untuk meraih tombol power itu. Bet! Layar pun mati. Matanya terbelalak, bingung kenapa mati? Sekali lagi itu usahaku untuk memberi kode padanya untuk pergi. Tapi bukan itu yang ia tangkap.

"Tad nelfon ibu dirumah, tad."

Eeeeekkkhhh...

Aku geram sekali dengannya, quality time yang aku inginkan bersama keluarga dengan jauhnya jarak. Malah menjadi forum chat biasanya.

"Kalau mau nelfon, ya ke wartel saja." Ingin aku marah, tapi mulut tak kuasa.

"Ah... Bayar tad, kalau ke wartel." Masih saja dibalas, bukannya langsung pergi.

"Yaudah nelfon ke ustad juga bayar." Berusaha sabar.

"Yaudah gak apa-apa, tad. Berapa?" Ih! Masih saja ia balas.

Aku sudah kehabisan argumen untuk berdebat dengannya. "Ya sama aja nelfon di wartel dong. Mending ke wartel aja sana." Masih tetap sabar.

"Ah! Wartel ga pernah buka, tad."

Ikh! Anak ini pinter banget ngeles. Sampai aku geram, kalau boleh aku mencaci makinya. Aku pasti bakal bilang seperti ini,

"Eh...! Dimana adab kamu ke gurunya? Saya ini ustad kamu, guru kamu. Bukan teman kamu! Di atur susah banget, pondok ini juga punya aturan. Ikuti yang ada." Tapi aku tidak punya daya untuk mengangkat nada seperti itu. Tapi lihatlah, aku yang sudah geram. Nafasku tersengal. Mataku memerah. Tanganku gemetar.

"Oh yaudah. Tunggu sampai buka aja." Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku dan dengan cepat menutup pendengaranku untuk tidak mendengarkan jawabannya lagi.

Baiklah! Aku harus bisa sabar menghadapi semua ini.

Dan aku memilih untuk memasukkan ponselku ke kantong. Memilih benar-benar diam, mengalihkan pembicaraan dengan yang lain hingga akhirnya ia benar-benar pergi.

Notifikasi pesan di grup keluarga terus-terusan tiada henti, seperti sudah banyak pesan yang aku lewatkan karena menanggapinya.

Jariku belum berhenti menggulung tumpukan pesan kebawah. Hingga terhanti pada sebuah foto. Sekitar empat orang didalam frame, dua perempuan dan dua laki-laki. Satu laki-laki hampir tua itu menjabat tangan laki-laki yang tua. Dengan hiasan seperti mahar diatas meja. Dan kulihat difoto yang lain, laki-laki yang hampir tua dan perempuan yang hampir tua itu sedang menujukkan buku berwarna biru dongker dan hijau tua, dengan siluet garuda pada sampulnya pada kamera.

Dan aku sedang tidak lagi bermasalah pada penglihatanku, tertulis pada bagian atas sampul sebuah tulisan "Buku Nikah"

Lantas setelah itu tulisan pada balon-balon pesan menyampaikan kebahagiaan pengirimnya, dengan menuliskan Sakinah Mawadah Warohmah.

MENCARI AYAHWhere stories live. Discover now