Pembicaraan Tidak Dekat

6 0 0
                                    

Pagi-paginya aku terjaga dari tidur. Notifikasi di ponselku berdering keras. Sebuah telefon masuk, tapi terabaikan. Dua kali masuk dengan penelfon yang sama, masih terabaikan. Mungkin penelfon tidak memaksaku untuk menerima telefon, tapi aku benar-benar terjaga setelah kawanku yang risih kupingnya mendengar notifikasi yang keras dari ponselku.

"Ndu, ndu. Bangun! Ini ada telefon." Ia seperti memaksa membangunkanku. Takut telefonnya berakhir lebih dulu.

"Hah!?" Nadaku masih ngantuk.

"Dari siapa?" Nadaku masih ngantuk.

"Pacarnya kali. Namanya Haliz." Kata temanku.

Mataku terbelalak mendengar namanya. Terkejut. Spontan terbangun dari pelukan hangat kasur busa tipis setebal 4 sentimeter.

Tanganku sudah dulu meraihnya, jariku sudah ada di tombol hijau bulat dengan gambar gagang telefon terbalik. Sambil mencibir kawanku.

"Itu bukan pacarku." Sambil memasang wajah konyol.

Dari seberang sana, suara Haliz terdengar kecil. Sebuah arti kalau ia sedang lemah. "A! Aa mau tau nggak?" Ia kira aku penasaran.

"Apa? Pasti soal ibumukan?" Aku menebak.

"Iya." Halis menjawab setuju dengan tebakanku. Tepat benar sekali tebakanku.

Pembicaraan di telefon mengarah pada ibunya yang baru saja menikah kemarin. Mungkin seperti sebuah rencana besar bagi ibunya, menikah sebelum matahari tengggelam. Menikah sebulum Halis datang.

"Padahal aku nggak setuju, aa." Halis menggerutu.

"Itu bukan tugas kamu untuk tidak menyetujuinya. Karena jika kedua walinya menyetujui, kita bisa apa?"

Sepertinya sudah lebar pembicaraan kita di telefon. Entah hari itu apa saja yang dipikirkan oleh Halis tentang ayah kandungnya. Lantas ia merasa dekat dengan ayahnya, sekarang. Aku pun merasakan satu hal yang sama. Berbeda dengan aku sebagai saksi hidupnya, sedikit-sedikit aku mengenali identitas ayahnya.

"A, aku pengen ketemu sama ayah."

Aku menanggapinya dengan cuek. Mungkin karena aku yang belum sadar dari maksudnya.

"Dari kecil, aku hanya tau ayah-ayah tiriku saja. Aku ingin ketemu dengan ayah kandungku sendiri. Apa benar ayahku itu bernama Heri? Atau malah Rudi atau bahkan punya nama yang lain?"

Aku bertanya pada Halis tentang ia bertemu ayah kandungnya.

"Aku yakin, a."

"Aa bisakan temeni aku?" Halis menyambung.

Aku segera cepat berfikir. Apa yang harus aku lakukan. Jika ia mantap dengan langkah ini, lantas langkah mana dulu yang harus aku lakukan.

"Okeh! Besok aku izin pulang. Kamu sambil mencari identitas lengkap ayahmu, aku pun begitu."

"Memang ayahku benar bernama Heri?"

"Yap betul. Kamu tinggal cari nama lengkapnya saja."

"Okeh."

"Setelah ini aku ambil tiket kereta jurusan Jember. Lusa kita berangkat pagi-pagi sekali."

Telefon ditutup dengan wajah Halis yang penuh kegembiraan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 12, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

MENCARI AYAHWhere stories live. Discover now