part 4

6.2K 552 4
                                    

Kejadian semalam cukup membuatku teguncang. Mama bahkan terkejut melihat kondisiku yang kacau saat tiba di rumah. Walau mama ingin bertanya, tapi urung dia ajukan. Mungkin mama tahu, aku bukan orang yang akan menceritakan apapun, jika memang belum ingin bercerita.

Bahkan pagi ini ketika aku tengah duduk di meja makan, seraya menikmati sarapan buatan mama, dia pun tidak berkata apa-apa. Selain senyuman hangat dan usapan lembut ditanganku. Walau sederhana, tapi aku menyukainya.

"Aku ke kantor dulu ya Ma." Kusalim tangan mama dan mengecup pipinya. Saat aku hendak melangkah perkataan mama membuatku terhenti sejenak.

"Berbahagialah."

Aku tahu apa maksud mama. Orang tua mana yang tidak khawatir melihat anak gadisnya pulang dalam kondisi kacau. Alih-alih menjawab aku memilih tersenyum tipis padanya.

Tiba di kantor, aku memilih berdiri di kubikel Disty. Toh, pengganti pak Tio baru akan datang jam sepuluh. Begitu kata beliau. Ditengah perasaan galau ku kemarin, aku bahkan lupa jika pesan singkat yang masuk tadi malam adalah boss baruku. Aku bahkan tidak menjawabnya, karena baru tadi pagi aku melihatnya. Anehnya ia hanya menulis singkat, "Saya datang jam sepuluh." Tidak ada penjelasan lain. Dia bahkan tidak menyebut namanya selain kalimat itu. Tadinya kufikir sms nyasar, tapi entah mengapa aku berfikir itu adalah pesan dari pengganti pak Tio. Walau demikian, aku memilih tidak menjawabnya. Tidak sopan memang, tapi entah mengapa aku ingin melakukan itu. Masa bodoh dengan tata krama. Toh dia juga tidak menulis siapa pengirimnya. Jadi, aku bisa mengelak nantinya.

"Pengganti pak Tio jadi datang hari ini, Ri?" Aku hanya mengangkat bahuku, toh aku juga tidak tahu kapan orang itu akan muncul.

"Semalam ada pesan yang masuk, tapi aku nggak tahu apa itu dari pengganti pak Tio atau sms nyasar?"

"Semoga pengganti pak Tio seramah pak Tio ya Ri. Bisa banyangkan kalau bossnya ribet dan pemarah."

Walau tidak tahu seperti apa sosok boss baru kami, tapi harapan Disty tentunya harapan kita semua. Ya, hampir semua karyawan pastinya menginginkan pemimpin yang baik,ramah dan bijaksana. Bekerja dengan orang yang berlawanan pasti sangat tidak menyenangkan.

Aku dan Disty larut dalam percakapan. Tanpa kami sadari Manager HR berjalan masuk. Disty yang pertama kali menyadarinya. Dia pun memberikan kode padaku. Aku menoleh ke arah yang Disty maksudkan. Dan demi apa, hal yang paling tidak ingin kulihat justru harus kulihat. Ya, dunia memang tidak selebar daun kelor. Fakta kalau dia di sini itu sudah cukup menjadi bukti.

Melihat sosok itu semakin mendekat, tubuhku semakin gemetaran. Bahkan tanpa sadar aku menggengam tangan Disty erat. Gadis itu bahkan menoleh, menatapku kebingungan bercampur rasa cemas.

"Kamu baik-baik aja Ri, tangan kamu dingin wajah kamu pucat." Suara Disty bahkan terdengar cemas saat mengatakannya.

Alih-alih menjawab, mataku hanya tertuju pada sosoknya. Semakin pria itu mendekat semakin kuat genggamanku di tangan Disty.

"Tari, are you okay?" Kembali dia bertanya padaku. Walau samar, tapi aku bisa mendengar nada khawatirnya. Tapi, sayangnya bibirku seakan tertutup rapat menjawabnya. Aku hanya bisa diam dengan dada yang terasa sesak. Dan saat pria itu berdiri tepat di hadapanku, tubuhku tidak bisa kukendalikan. Aku terjatuh, seiring kesadaranku yang menghilang.

**

Saat aku membuka kedua mata, hal yang kusyukuri adalah ketika tidak melihatnya di sini. Kuharap itu hanya mimpi. Ya, itu hanya mimpi. Kucoba menyakinkan diri, jika ini tidak nyata. Namun, apa yang kuharapkan ternyata salah. Dari balik horden kamar kesehatan ini, aku bisa mendengar dengan jelas suaranya. Suara yang bahkan setelah tiga tahun lamanya tidak pernah hilang dari fikiranku. Miris, aku masih tertinggal dibelakang. Sementara dia sudah jauh melangkah ke depan. Aku yang masih mengingatnya dengan jelas dan dia yang telah melupakanku.

Di saat aku larut dalam kesedihan dan kenangan, aku tidak menyadari kehadirannya, entah sejak kapan dia di sana. Bersandar di dinding seperti cicak, diam mematung. Dengan kedua tangan di taruhnya dalam saku celana. Sesaat mata kami saling bertemu. Aku terhanyut, tatapan mata dia masih sama. Seperti samudera yang akan menenggelamkanku. Dan saat itu juga aku tahu hidupku tidak akan sama lagi. Sekarang, aku mulai kebingungan apakah harus lari, atau kah harus tinggal. Selama ini aku mencoba berlari, tapi yang ada malah menyiksaku. 

"Alhamdulillah, kamu sudah sadar Ri." Disty langsung menyapaku, ada rasa hangat mengetahui ada yang mengkhawatirkan diriku  selain orang tua.

Aku tersenyum tipis pada Disty, aku bisa lihat bagaimana khawatirnya dia. Suara dan wajahnya menunjukkan itu. Andi bahkan berdiri disisi kanan Disty, terlihat sama khawatirnya.

"Kamu kenapa sih, padahal tadi pagi kamu baik-baik saja." Disty, berkata seraya meraba keningku. 

Aku kembali tersenyum tipis padanya, "Aku baik-baik saja."

"Baik gimana. Coba kamu lihat wajahmu dicermin, pucat begitu." Gerutunya, dia bahkan tiada henti meletakkan telapak tangannya di dahiku, hendak memastikan suhu kami sama.

"Disty benar Ri, kamu pucat banget. Aku kaget loh saat kamu pingsan tadi."

"Maaf ya Di, buat kamu cemas. Dan terima kasih sudah membawaku kesini. Aku pasti berat banget waktu kamu angkat."

Disty dan Andi saling menoleh, lalu keduanya menggeleng. "Bukan aku yang menggendongmu kemari." Andi diam. Sesaat ia ragu-ragu mengatakannya, "Bukan aku, tapi pak Kafka yang menggendongmu ke ruangan ini." Lanjutnya kembali.

Dan demi apapun, hal yang paling kubenci adalah fakta yang Andi katakan. Aku menoleh ke arahnya, mataku menangkap sosoknya yang tengah berdiri didekat meja dokter. Sosok itu melihatku sesaat, sebelum berlalu meninggalkanku.

Memang apa yang aku harapkan. Apa aku berharap pria itu menghkawatirkanku? Kufikir itu hanya akan terjadi jika dunia kiamat.Faktanya Kafka meninggalkanku demi wanita itu.

Cinta Yang SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang