Part 6

5.7K 550 18
                                    

"Kafka kapan sih kamu bakal ngelamar aku?"  Untuk kesekian kalinya aku mengeluh. "Kita tuh udah pacaran lama. Mau sampai kapan seperti ini. Aku tuh cape, Ka. Orang-orang pada nanya kapan kita nikah."

Alih-alih menjawab Kafka memilih diam, seperti biasanya ia memilih larut dalam pekerjaannya. Entah karena kesibukan atau hanya pura-pura menghindar dari pertanyaanku.

"Aku mau pulang." Kuraih tas diatas meja, dengan hentakan kaki aku berjalan ke luar dari apartemennya. Satu menit, dua menit hingga sepuluh menit, Kafka bahkan tidak mengejarku. Dan itu membuat hatiku terluka.

"Kamu kok jahat banget sama aku. Kamu bahkan nggak nyusulin aku. Sebenarnya kamu serius nggak sih sama hubungan kita?"
Aku bahkan nyaris berteriak saat mengatakannya.

Dan sepertinya berhasil, Kafka menutup laptop di hadapannya. Dia lalu berjalan menghampiriku dan memelukku erat. "Cari makan yuk. Aku lapar banget." Alih-alih menjawab Kafka malah mengalihkan pembicaraan. Dan untuk kesekian kalinya aku kembali harus menahan rasa kecewa.

Aku terbangun dari tidur, saat kulihat jam didinding. Ini masih tengah malam. Pukul dua dini hari. Mimpi itu datang lagi. Kenangan itu muncul kembali. Dan sakitnya masih terasa sama. Harusnya waktu itu, aku sadar jika cinta Kafka tidak sama dengan cintaku. Mungkin cintaku mencapai dasar lautan. Sedangkan cinta Kafka hanya sampai ditengah atau mungkin hanya dipermukaan lautan saja. Mengingat itu membuatku kembali menangis. Kutatap diriku di cermin, kulihat di dalam sana sosok gadis bodoh. Gadis yang menghabiskan malamnya dengan tangisan. "Kenapa aku begitu susah melupakannya."

Saat pagi tiba, tubuhku terasa malas bergerak. Bahkan kepala seakan mau pecah. Jika bukan ego yang menghampiriku. Sudah kupastikan aku tidak akan kembali ke sana. Tapi, ucapan Kafka kemarin membuatku meradang. Aku tidak ingin dianggap pengecut olehnya. Tapi, bertemu dengannya juga bukan pilihan yang pas.

Dengan malas kulangkahkan kakiku menuju lantai sepuluh. Tempat di mana ruangan Kafka berada. Mengingat, posisiku sebagai sekertarisnya. Mungkin aku harus meminta bagian HR untuk memindahkanku kebagian lain.

Saat aku tiba dilantai sepuluh. Suasana masih terlihat sepi. Selain karena di lantai ini hanya diisi oleh ruangan kepala cabang dan manager, jadi tidak seramai lantai lainnya yang diisi oleh banyak karyawan.

Sayangnya itu tidak berlangsung lama. Karena saat kudengar suara lift, sontak aku menoleh. Dan sudah kuduga tak jauh dari sana, sosoknya tengah berjalan ke arahku. Kufikir pagiku dimulai dengan buruk.

"Aku senang melihatmu pagi ini." Kafka mengatakannya, tepat ketika dia berdiri di hadapanku. "Kuharap kita bisa bekerja sama dengan baik."

Sejujurnya aku ragu, apa aku bisa bekerja dengan profesional. Atau malah sebaliknya. Tapi, aku tidak mungkin mundur lagi. Sudah kuputuskan tidak ingin terlihat pengecut. Setidaknya Kafka harus tahu, kalau aku akan baik-baik saja.
***
Hal yang paling kusukai dan membuatku lega adalah saat jam istirahat tiba. Satu hal yang kusyukuri, Kafka bahkan tidak mengatakan apa-apa hari ini. Dan kuharap seterusnya. Aku tidak peduli apa jadwalnya, walau nyatanya aku harus peduli jadwalnya. Mengingat itu tugasku.

"Gimana boss baru. Kamu betah?" Disty langsung menanyaiku, begitu aku tiba dan duduk dihadapannya. Saat ini, kami sedang makan di rumah makan cobek-cobek.

"Gak tahu, dia nggak nyuruh apa-apa. Seharian dia hanya di ruangan." Walau aku bingung akan sikap Kafka, tadinya kukira ia akan menkonfrontasiku dengan banyak pertanyaan. Tapi, dia malah menghabiskan waktu di dalam ruangannya.

"Tari, itu pak Kafka kan?" Tunjuk Disty pada satu sosok. Dan aku kembali merasakan ketidak nyamanan. Aku mungkin akan terlihat baik-baik saja, jika hanya melihat Kafka. Tapi, kini keadaannya berbeda. Kafka dan Kalina terlihat bahagia. Dengan putra mereka. Aku bahkan bisa melihat bagaimana Kafka tersenyum dan menatap Kalina penuh cinta.

Mataku terpejam, ingatan akan hari itu kembali lagi. "Mereka benar-benar cocok. Namanya sama-sama berawal dengan huruf K, kalau versi kerennya orang bakal sebut double Key. Wajar mereka jodoh."

"Istri pak Kafka cantik ya." Aku bahkan tidak sadar menggenggam erat gelas ditanganku hingga pecah saat mendengar perkataan Disty. Dan sontak membuat Disty dan yang lain menoleh.

"Tari..." suara Disty bahkan terdengar terkejut. Antara khwatir melihat tanganku yang berdarah. Atau tidak percaya jika aku bisa memecahkan sebuah gelas melalui genggamanku. Aku sendiri tidak sadar sekuat apa aku menggenggamnya.

"Kamu kenapa? Tangan kamu berdarah. Kita ke dokter sekarang." Disty segera berdiri dari posisinya, dan menghampiriku. Namun pergerakan Disty terhenti. Ia bahkan hanya diam. Menatap sosok Kafka yang entah sejak kapan berdiri di dekatku. Hingga membuat aku tidak bisa berkata. Yang kutahu, pria itu tengah sibuk membalut tanganku dengan sapu tangan. Sebelum akhirnya meminta Disty untuk membawaku ke dokter.

Saat aku hendak berjalan, samar bisa kudengar Kalina protes pada Kafka, "Kamu tidak seharusnya membantunya." Aku tidak tahu apa kelanjutannya. Tapi, membayangkan wajah kesal Kalina entah kenapa membuatku bahagia. Sesaat aku menoleh ke belakang. Kulihat di sana, Kafka masih menatapku. Tatapan yang sulit ku artikan.

Cinta Yang SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang