Chapter 4

815 563 134
                                    

Bel pulang sekolah berbunyi. Raut wajah siswa-siswi di kelas X IPS 1 yang tadinya kusut karena pelajaran matematika langsung berubah cerah.

Mereka bersorak menyambut jam pulang.

Sementara guru matematika mereka menautkan alis tajam. Terlihat tak senang. Guru itu memukul meja dengan buku paket, galak.

"Jangan lupa, PR-nya dikumpulkan di meja saya besok!"

"Ya, Bu!"

Bu Nining, guru matematika mereka keluar dari kelas setelah mengucapkan salam.

"Mit, nanti ke kafe, yuk, " ajak Susan menepuk pundak Mita.

"Siapa aja yang ikut?" tanya Mita berbalik menghadapnya dengan antusias.

"Gue, Yanti dan ... Biyah ikut nggak?" Susan bertanya pada gadis di sebelah Mita.

Biyah menggendong tas ranselnya dan berdiri menghadap meja Susan dan Yanti dengan ekspresi acuh tak acuh.

"Gue ikut aja. Mit, gue nebeng sama lo, ya," pinta Biyah bete.

Mita mengernyit. "Lho, nggak pulang bareng Kak Rindi?"

"Males, ah!"

"Lo marahan dengan kak Rindi, ya?"

"Kepo aja, Lo!"

"Ketus banget, orang nanya baik-baik!" sungut Mita jengkel.

Vana mendengar percakapan mereka sambil membereskan buku-bukunya. Biyah sepertinya masih kesal dengan kejadian di UKS.

"Vana lo ikut, nggak?" Kini Susan menatapnya.

Vana menggeleng. "Kalian aja, bye bye."

Vana bukan orang kaya yang hobi nongkrong di kafe. Diajak, bukan berarti ditraktir. Ujung-ujungnya tagihan bayar sendiri. Mana Vana punya duit. Gajinya saja dipotong sama si bos.

Mengingatnya membuat Vana mengumpat dalam hati. Gara-gara itu dia tidak jajan di sekolah. Plus mag kambuh dan kaki keseleo.

Mudahan sepasang kekasih itu beneran putus.

Amin, Vana mengamininya dalam hati.

Vana berjalan keluar dari gerbang sekolah dengan langkah pincang.  Dia tak bisa naik sepeda. Vana meninggalkan sepedanya di tempat kerjanya.

Sebuah motor kawasaki baru saja keluar dari gerbang sekolah dan melewati Vana.

Vana mengernyit melihat motor itu tampak familiar.

Dia sepertinya bukan siswa dari sekolahnya melihat bagaimana pemuda itu tak memakai seragam sekolah.

Di mana gue pernah melihatnya, ya? batin Vana bertanya-tanya menatap motor yang semakin menjauh.

Hujan deras tiba-tiba turun mengguyur kota Jakarta saat Vana berdiri di pinggir jalan menunggu angkot. Vana berlari menuju halte bus terdekat.

Sengatan tajam terasa di pergelangan kakinya karena terlalu memaksakan kakinya untuk berlari. Vana duduk sambil mengerang memegang pergelangan kakinya.

Halte itu sangat sepi. Tak ada satupun manusia yang berada di situ, selain Vana.

Vana membuang napas, tubuhnya menggigil kedinginan. Seragam sekolahnya sedikit basah akibat hujan yang turun tiba-tiba.

Dia menunggu hingga satu jam, namun hujan tak kunjung reda. Sembari membuang napas, Vana memandang ke depan. Lalu-lalang kendaraan dan deru hujan seolah menghipnotisnya masuk ke dalam lamunan.

Vanaria (Terbit)Where stories live. Discover now