BAB 9

178 40 46
                                    

A good marriage is the union of two forgivers

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

A good marriage is the union of two forgivers. – Ruth Bell Graham

|

|

Jiyeon duduk dengan gelisah, merasa bokongnya seperti ditusuk-tusuk dengan ribuan jarum.

Kepercayaan dirinya terpecah belah, bahkan sejak langkah pertamanya memasuki gedung itu. salah satu perusahaan memanggilnya untuk seleksi berikutnya. Gedung perusahaan itu berwarna biru, menjulang dengan bentuk oval. Luar-dalam terlihat mewah. Kantornya sendiri terletak di Lantai 15, rapi, bersih, dan terlihat begitu artistik. Jiyeon pun semakin menciut.

Oke, aku tidak boleh panik. Ucap Jiyeon dalam hati dengan penuh tekad. Dia sempat berpikir untuk angkat kaki dari sini dan melupakan bahwa mereka pernah memanggilnya. Apalagi, dua pelamar lainnya sudah masuk terlebih dahulu dan rasanya mereka begitu lama berada di dalam. Apa saja yang mereka lakukan? Pertanyaan apa sajakah yang akan mereka cecarkan kepada para pelamar, terutama pelamar seperti aku? Pertanyaan-pertanyaan itu terus memenuhi kepalanya. Membayangkan itu saja membuatnya mulas.

Apakah aku melakukan hal yang benar? Keraguan terus membayangi Jiyeon. Batin dan pikirannya mulai berselisih pendapat. Yang satu menyuruhnya pulang, sedangkan yang satunya lagi memintanya untuk tetap tinggal.

Akan tetapi, terlambat. Ketika hati dan pikiran Jiyeon sedang berembuk mencari jalan tengah, resepsionis sudah memanggilnya untuk masuk. Dia menjadi orang terakhir pada sesi wawancara hari ini. Lobi dengan sofa keras dan kaku berwarna cerah itu sudah sepi ketika Jiyeon beranjak mengikuti resepsionis masuk. Dia membawa Jiyeon masuk ke dalam ruangan yang berukuran sedang.

Seorang perempuan dengan senyum sedikit kaku menyambut Jiyeon. Rambutnya pendek, sama kakunya dengan senyumnya itu. Jiyeon menilainya dengan cepat. Sepertinya, dia tidak akan begitu ramah. Jiyeon jadi pasrah.

Rupanya penilaian Jiyeon salah. Ketika mereka sudah terlibatobrolan yang cukup panjang, perempuan dengan senyum kaku yang bernama Ahn Sohee dari bagian HRD itu jauh berbeda dari kaku. Dia ramah dan suka tertawa. Pembicaraan mereka mengalir lancar. Jiyeon yang tadinya tegang, perlahan menjadi santai. Setidaknya, kesan pertama tidak selalu benar, bukan?

Setelah wawancara berjalan setengah jam, Ahn Sohee membawa Jiyeon ke luar untuk bertemu dengan seseorang yang akan menjadi pimpinannya kelak jika dirinya diterima. Ahn Sohee masuk terlebih dahulu. Kemudian, Jiyeon menyusul dan....

"Jiyeon?"

Jiyeon melongo. Benar-benar melongo. Mulutnya membulat dan matanya melebar. Dia terkejut melihat sosok yang duduk hanya beberapa meter di hadapannya.

Ha? Seungho?

Jiyeon mengedipkan matanya berulang kali. Bahkan, ketika Seungho berdiri untuk menyambutnya, Jiyeon masih saja tidak percaya.

For Better or WorseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang