Perkara Cinta, Kita adalah Perencana yang buruk

110 0 0
                                    

ENTAH sejak kapan sepasang kekasih meyakinkan perasaan satu sama lain dengan saling memakaikan cincin.

Tapi siapa pun tahu, di hari pertunangan kita, kamu adalah laki-laki yang paling bahagia. Kamu menunjukan itu dan berhasil meyakinkan siapa pun, bahwa saya adalah perempuan paling beruntung yang akan membuat banyak ibu dari para gadis dengki. Hal yang membuat mereka percaya hidupnya jauh dari Tuhan sehingga tak layak punya calon menantu seperti kamu.

Saya mengenal Beni belum terlalu lama. Tetapi kedewasaan dan cara dia mencintai membuat saya tahu, waktu bukan lah alat ukur untuk niat baik atau semacamnya. Dia terlalu muda untuk segala pencapaian yang ia raih: karir, investasi, dan hal lain yang membuat perempuan manapun merasa berdosa untuk menolak segala perhatianmu.

...

Saya ingat pertama kali kami bertemu...

Sore itu saya bersama teman sepekerjaan, Mira, bergegas pulang. Karena arah kami sama, saya kerap menumpang. Entah kesialan apa yang datang, sepeda motor Mira di tengah jalan mogok. Karena langit mulai gelap dan sore itu seperti akan hujan, Mira menelpon temannya. Saat itu lah kali pertama bertemu Beni, lelaki yang kelak memakaikan cincin di jariku.

Hujan mulai deras saat Beni menjemput kami. Motor Mira yang mendadak rusak kami tinggalkan di bengkel dan besoknya rencana akan diambil.

"Nah kalo lagi musim hujan kayak gini, punya temen yang bawa mobil jadi kerasa manfaatnya...," ucap Mira diiringi tawa Saya dan Beni.

"Oh iya Ben, kenalin ini Gita. Gita ini Beni," tambah Mira. Kami, Saya dan Beni, yang duduk di depan saling tatap dan membalas senyum.

Saya bukan jenis orang yang mudah akrab dengan orang baru dikenal. Beruntung saat itu Mira sedang menunjukan watak aslinya yang selalu bisa membuat obrolan apapun jadi menarik. Caran bicaranya yang ceplas-ceplos kadang menyelamatkan situasi semacam ini.

Setengah perjalanan menuju rumah, Mira banyak bercerita soal Beni. Dari soal pekerjaan Beni mengurus perusahaan ayahnya di bidang properti, hingga soal cara Beni menentukan dan memilih pasangan hidup. Dari banyak hal yang dibicarakan Mira, nampak betul mereka sangat akrab satu sama lain.

"Jadi Ben, Kamu kan sudah hampir sebulan di Cirebon, jadi gimana menurutmu Cirebon?" tanya Mira setelah sekian lama nyaris bermonolog.

"Sejujurnya, setelah saya datang dari Jakarta, saya belum banyak main sih di Cirebon. Kantor Cabang kan baru buka, jadi rada susah atur waktu," jawab Beni.

"Sebenarnya dimana pun selagi ada teman yang dikenal dan masih di Indonesia, kota mana pun akan terasa menyenangkan," tambahnya.

"Mangkanya biar betah di Cirebon, coba cari pacar, iya gak Git...?" Kata Mira sambil telunjuk kirinya menyolek Gita dari arah belakang.

Menyadari saya salah tingkah, Beni menahan senyum.

...

Kami hampir sampai. Beni menurunkan laju mobilnya, memastikan rumah saya tak terlewat.

"Itu rumah saya Mas, Pagar Ijo..." Mobil berhenti tepat di depan pagar rumah.

"Mir, Mas Beni, makasih yah. Oh iya, mau mampir dulu?" tawarku.

"Lain kali aja Git. Ini badan udah licin banget kayak belut. Mau buru-buru Mandi," jawab Mira.

"Iya Git, lain kali sekalian anter pulang lagi." imbuh Beni.

"Yakin banget ni ada lain kali?" respons Mira dengan nada meledek.

"Ya nanti gampang biar motor kamu rusak terus," jawab Beni.

"Huusss... sembarangan..." Jawab Mira. "Dah yah kita pulang Git... Udah Ben, usahanya nanti lagi... ".

Mereka pun pamit.

Sejak pertemuan tersebut, kami sering bertemu dan menghabiskan waktu bersama. Sekali waktu jalan bertiga, sesekali berdua. Tak butuh lama untuk Beni meyakinkan saya, bahwa dia adalah lelaki baik yang kelak akan memberikan banyak kebahagian untuk orang yang dia pilih. Dan Beni memilih saya!

...

Entah sejak kapan sepasang kekasih meyakinkan perasaan satu sama lain dengan saling memakaikan cincin. Tapi jika kalian pernah melakukannya, kalian akan faham bahwa prosesi apapun hanya punya satu penjelasan: semua hanya aktivitas biasa, yang membuatnya bermakna adalah keutuhan rasa yang kita punya. Hal ini yang membuat segala ritual atau prosesi adalah kebahagiaan yang layak dimeriahkan.

"Git... apakah kamu bahagia?" beni bertanya, setelah ia melingkarkan cincin di jari Manisku.

Saya kaget dia bertanya di sela-sela prosesi. Saya terdiam. Seolah semua kata lenyap dan hanya menyisakan keheningan yang ganjil. Hal terakhir yang saya pikirkan sebelum memeluk Beni dan menangis, "Dia terlalu baik untuk jenis kebohongan apapun". []

... 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 17, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cara Lain untuk MencintaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang