32. The Last Purple Roses🌹

1K 68 2
                                    

Malam ini mereka menginap di sana. Dalam pemukiman peri. Waktu yang sudah menunjukan larut membuat Chelsea dan yang lainnya harus tinggal satu malam dan esok hari baru mereka bisa kembali.

Chelsea, Charlotte dan Dyandra tinggal di rumah bunga milik Melia sedangkan Veron dan Jackson memilih tinggaul di rumah tetua, Guard daripada bersama Eldrick yang menyebalkan.

Gadis bermata biru itu menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang. Ia tak bisa tidur. Entah karena alasan apa matanya seperti memaksanya untuk terus berjaga. Tangannya merambat menyentuh bibirnya yang hangat. Suatu kejadian kembali berputar membuat senyumnya mengembang.

Ia tak tahu mengapa ia tak marah ketika Veron menciumnya. Ia juga tak tahu mengapa ia tak menolaknya tadi. Chelsea merasakan rasa senang yang memuncak membuat perutnya seakan di masuki ribuan kupu-kupu yang sekarang ingin keluar.

Tunggu! rasa ini.. ia tak pernah merasakannya. Rasa aneh yang mengglayuti hatinya. Apa ia mulai menyukai Veron? Tidak. Ia yakin bukan itu. Jika benar apa yang harus ia lakukan? Oh, ia tak mau membayangkan bagaimana wajah datar itu tersenyum sinis kemenangan ke arahnya. Itu sungguh menyebalkan.

"Chelsea?" Panggil seseorang membuat Chelsea mengadah mencari si pemanggil. Melia tersenyum ke arahnya. Seketika itu, ia membalas senyumnya. Dilihat dari penampilannya yang agak berantakan, pasti ia habis bangun tidur.

"Mengapa kau bangun?" Tanya Chelsea. Melia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia sendiri bingung mengapa ia bangun malam-malam seperti ini.

"Entahlah," jawabnya sambil nyengir. Melia menyibakan selimutnya dan berjalan mendekat menuju ranjang Chelsea. Ia pun duduk di tepi ranjang itu sambil menatap Chelsea dengan senang seperti menemukan artisnya.

"Mengapa kau terlihat senang seperti itu? Kau tahu, aku geli melihatnya."

"Suatu kesempatan langka bertemu denganmu." Jawabnya tanpa memudarkan senyum yang ada di wajah kecilnya itu. Chelsea terkekeh.

"Well, aku tersanjung. Ehem.. jika aku kembali besok, bagaimana dengan Alvaro?" Tanya Chelsea dengan nada sedikit khawatir.

Apa ia mungkin akan membawa Alvaro kembali ke rumahnya dan membiarkan semua orang curiga darimana ia mendapat bayi itu? Itu adalah ide yang buruk. Namun, jika ia meninggalkannya di sini.. bukankah itu terlihat kejam?

"Apa kau tidak bisa membawanya?" Tanya Melia bingung. Chelsea menghembuskan nafasnya gusar.

"Apa yang akan terjadi di Dunia Manusia jika bayi itu tumbuh di sana? Tapi, aku sangat ingin membawanya."

Melia mengangguk mengerti. Tentu saja akan menjadi masalah jika Alvaro ikut ke dunia manusia. Apa lagi seorang peri bisa tumbuh lebih cepat seperti tumbuhan mawar. Apa yang akan manusia katakan tentang itu? Dan membiarkan jati diri mereka terbongkar begitu saja? Oh, tentu tidak.

"Baiklah, aku akan merawat Alvaro sampai kau kembali." Ucap Melia kemudian. Chelsea menatapnya tak percaya.

"Benar? Kau yakin?" Tanya Chelsea senang. Melia pun mengangguk dengan semangat.

"Sungguh kehormatan menjaga anakmu." Lanjutnya dengan kekehen yang ia suarakan di akhir kalimat. Chelsea langsung memeluk Melia senang.

"Terima kasih Melia!" "Tentu saja."

"By the way, mengapa kau mengatakan saat aku kembali? Apa aku akan kembali kemari nantinya?" Chelsea melepaskan pelukannya pada Melia dan menatapnya bingung.

"Tentu saja. Aku yakin itu,"

Chelsea tak mengerti namun ia tak ingin membahasnya lagi. Entah mengapa rasanya akan ada kabar buruk yang menimpanya jika ia membahasnya lebih lanjut. Gadis bermata biru itu mengambil segelas air yang sudah kosong dan mengisinya lagi dengan wadah cukup besar berisi air putih.

Destiny Rules ✔ [1]Where stories live. Discover now