5. Beri Aku Waktu

1.7K 91 5
                                    

Aku tidak bisa diam terlalu lama terhadap perubahan sikap Dory kepadaku. Maka hari Minggu ini aku memutuskan untuk menemui Dory di rumahnya. Tapi ketika sampai di sana Dory sedang tidak berada di rumah, dari ibu aku mengetahui kalo saat ini ia tengah diajak oleh bapak ke sebuah acara.

"Memangnya Dory ndak pernah cerita ya, Nduk tentang kegiatannya di sela waktu libur seperti ini?"

Ibu sudah begitu dekat denganku karena seringnya aku mampir ke sini, maka beliau pun tidak sungkan memanggilku dengan sebutan 'Nduk', panggilan untuk anak perempuan di Jawa.

"Dory nggak pernah cerita, Bu. Memangnya apa kegiatan yang dilakukan Dory pas libur seperti ini?"

"Dory itu sering diajak bapaknya ngamen jadi pemain drum pas grupnya dapat job manggung, Nduk."

"Ngamen, Bu? Maksudnya ngamen di jalan gitu?"

Ibu tertawa. "Oh, ndak seperti itu, Nduk. Bukan seperti pengamen di jalanan, tapi bapaknya Dory ini punya grup yang khusus memainkan lagu-lagu campursari dan biasanya pas hari libur seperti ini sering dapat job untuk manggung."

"Oh."

Aku nggak pernah menyangka kalo Dory seorang pemain drum dalam grup campursari. Genre musik yang sangat awam bagiku. Kenapa ia tidak menceritakannya.

"Fe, kamu ngapain ke sini?"

Suara Dory membuyarkan pikiranku tentangnya barusan.

"Kamu udah pulang. Maaf aku nggak ngasih tahu kalo mau ke sini."

"Le, Nak Fea sudah dari tadi menunggu, kamu temanin dia, ya. Ibu tinggal ke dalam dulu, ya, Nduk."

Aku mengangguk pada ibu. "Iya, Bu. Silakan."

Dory kemudian duduk di seberang bangku yang kutempati. Berjarak, seperti hubungan kami belakangan ini. Jarak yang diam-diam diciptakan olehnya. Kupandang Dory, ia terlihat lelah.

"Capek banget, ya, Dor."

Dory mengangguk. "Iya, tapi sudah biasa seperti ini."

"Udah lama kamu main drum di grup campursari milik bapak, Dor?"

"Lumayanlah, sejak awal kelas sepuluh. Kebetulan posisi pemain drum di grup bapak kosong karena pemain lamanya mengundurkan diri."

"Kok kamu nggak pernah cerita sama aku soal ini?"

Dory tersenyum simpul. "Buat apa, Fe? Kamu pasti juga ndak bakal tertarik sama musik itu."

Aku terdiam. Mungkin Dory benar, genre musik yang digeluti Dory sangat jauh berbeda dengan musik yang sering kudengarkan. Saking seringnya aku pergi ke klub, telingaku lebih familiar dengan jenis musik EDM.

"Kamu ada keperluan apa datang ke sini, Fe?"

Pertanyaannya membuyarkan pikiranku. "Kamu keberatan ya aku ke sini, Dor?"

Tidak seperti biasanya, Dory kali ini sepertinya segan melihatku datang ke rumahnya.

"Bukan seperti itu, Fe, tapi akan lebih baik jika kamu tidak sering-sering kemari."

"Memangnya kenapa, Dor? Kenapa tiba-tiba kamu merasa keberatan kalo aku ke sini?"

"Fe, kamu kan sudah punya pacar. Bagaimana kalau pacarmu tahu kamu sering main kemari?"

Sontak aku terkejut saat Dory mengetahui jika aku telah memiliki kekasih. Tapi bagaimana ia bisa mengetahuinya? Siapa yang memberitahu?

"Kamu__darimana kamu tahu soal itu?"

Dory tersenyum. "Kamu ndak perlu tahu darimana saya mengetahuinya, Fe."

"Iya, kamu hanya sebatas tahu soal itu, tapi kamu nggak ngerti gimana hubunganku sama dia. Saat ini aku digantungin sama pacarku, Dor. Status kami sekarang sedang break, entah sampai kapan aku sendiri nggak tahu. Ia sama sekali nggak pernah memberi kabar apalagi kejelasan tentang kelanjutan hubungan kami, dan aku udah capek, Dor."

Netra Dory menatapku. Tatapannya melembut. "Kenapa kamu ndak berusaha menghubungi dia?"

Aku menggeleng. "Aku udah malas berurusan dengannya, Dor."

"Fe, bukannya saya melarangmu untuk datang kemari, tapi lebih baik kamu selesaikan dulu masalah di antara kalian. Saya ndak mau kedekatan kita justru menimbulkan masalah baru."

"Oke. Kalo seperti itu yang kamu mau, aku akan berusaha menghubunginya dan menyelesaikan hubungan kami, Dor."

"Bukan seperti itu yang saya mau, Fe. Saya ndak mau kamu putus sama pacarmu, tapi bicarakan masalah kalian baik-baik, selesaikan baik-baik."

Aku menggeleng. "Bukan ia yang aku butuhkan untuk berada di sisiku, Dor, tapi kamu."

Sontak Dory terperanjat mendengar kalimatku. Matanya tajam menatapku.

"Maksud kamu apa, Fe?"

Sudahlah, lebih baik aku jujur saja tentang perasaanku terhadapnya, karena entah Dory sepertinya tidak peka atau sungkan karena mengetahui statusku masih menjadi pacar orang.

"Aku suka sama kamu, Dor." Kubalas menatap bola matanya.

"T-tapi, Fe__kamu sudah punya pacar."

"Kasih aku waktu buat menyelesaikannya, Dor."

"Fe__"

"Please, Dor.. aku nggak main-main sama perasaanku ke kamu, aku sungguh-sungguh menyukaimu sejak pertama kita bertemu, Dor."

"Biarkan aku selesaikan urusanku dengan Erwin, dan setelah itu kamu nggak perlu merasa bersalah atau tidak enak jalan sama aku. Tapi tolong, Dor, kamu jangan menjauhi aku seperti belakangan ini, aku benar-benar tersiksa dengan sikapmu itu."

Mataku menghangat. Rasanya sudah tidak mampu kubendung lagi air mata ini, kubiarkan ia jatuh berderai membasahi pipiku.

"Maaf kalo akhirnya aku harus jujur tentang perasaanku ini, kupikir dengan berjalannya waktu kamu akan peka dan mengerti dengan sendirinya, tapi tidak."

Dory bergeming. Matanya sebentar menatapku kemudian menunduk.

"Aku permisi dulu, ya, Dor. Tolong pamitin ke ibu."

Kuputuskan untuk pulang saja, keadaan justru akan semakin canggung jika aku tetap berada di sini. Aku segera berdiri dan beranjak dari rumah itu, meninggalkan Dory yang masih terpaku di tempatnya. Entah apa yang ada dalam pikirannya tentang pengakuanku barusan.

Semoga saja aku tidak salah menerka tentangmu, Dor, bahwa kamu juga menyimpan perasaan yang sama kepadaku.

Bersambung...

Sad Boy ✔Where stories live. Discover now