18. Pertengkaran

1K 57 0
                                    

"Fea, dari mana saja kamu? Jam segini baru pulang."

Baru saja aku memasuki ruang keluarga sudah disambut seperti itu oleh papa. Tumben di rumah.

"Sejak kapan papa peduli sama Fea?" sinisku.

"Kamu itu, ya, sopan sedikit sama orang tua."

"Pa, nggak salah bicara seperti itu? Bagaimana Fea bisa bersikap sopan kalo di rumah saja tidak ada yang mengajari Fea."

"Apa gunanya kamu bersekolah? Papa menyekolahkan kamu mahal-mahal itu bukan hanya untuk mendapatkan ilmu tapi juga belajar bersikap."

"Terus saja bicara soal materi. Asal papa tahu, ya, kalo yang dibutuhkan seorang anak itu bukan cuma materi tapi juga kasih sayang dan pendidikan dari orang tuanya!" tegasku. Aku nggak peduli dengan siapa saat ini bicara, toh, dia yang kusebut papa sama sekali tidak pernah mempedulikan aku kecuali hanya soal materi.

"Sudah, cukup! Makin kurang ajar saja kamu kalau terus diladeni. Papa tidak punya banyak waktu hanya untuk berdebat seperti ini."

"Ya sudah, papa, kan, yang mulai. Lagian juga tumben di rumah," acuhku.

"Papa sengaja meluangkan waktu untuk pulang karena ada yang mau papa bicarakan sama kamu. Sini, duduk."

Mau tidak mau aku mengikuti perintah papa, dengan malas duduk di sofa berhadapan dengannya.

"Sebentar lagi kamu ujian, kan, dan papa mau setelah lulus nanti kamu melanjutkan kuliah di London."

"Hah? Fea nggak mau, Pa!"

"Harus! Papa sudah mengatur semua hal yang menyangkut kuliahmu di sana. Tugasmu hanya belajar yang bener dan lulus ujian, setelahnya tinggal berangkat ke sana."

"Papa nggak bisa memaksakan kemauan papa ke Fea. Harusnya papa nanya dulu maunya Fea seperti apa."

"Ingat, ya, Fea.. papa paling tidak suka mendengar bantahan."

"Papa egois!" Amarahku memuncak.

"Cukup, ya. Sudah jelas apa yang papa sampaikan. Papa tidak mau berdebat lagi. Sekarang papa sudah harus ke bandara untuk bertolak ke Singapore. Ada klien yang menunggu papa untuk meeting di sana." Papa bangkit dan menenteng tasnya menuju pintu.

"Terserah!" teriakku.

***

Jujur saja hari ini aku malas berangkat ke sekolah. Pertengkaran dengan papa semalam sukses melunturkan semangat belajarku. Jika mengingat kemauan papa agar aku melanjutkan kuliah ke London, rasanya aku tidak ingin lulus ujian nasional.

"Fe, kamu kenapa diam saja dari tadi?" tanya Dory begitu kami sampai di sekolah.

Berhubung aku dijemput sama Dory ke sekolah jadi niat untuk membolos hanya jadi wacana. Mau tidak mau aku berangkat juga.

"Fea," panggil Dory.

"E-eh, kenapa, Dor? Kamu ngomong apa barusan?" kataku tergeragap.

"Kamu itu kenapa, dari tadi kok diam terus? Kamu marah, ya, sama saya?"

Buru-buru aku menggeleng. "Enggak, kok. Siapa juga yang lagi marah."

"Lha terus kenapa diam saja?" desak Dory.

"Habis berantem sama papa," jawabku sambil berjalan menuju kelas. Malas rasanya membahas itu.

Sad Boy ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang