1-11 | One Last Chance

4.3K 870 1.1K
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ex-Vortex Laboratory, Moorevale, USA

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ex-Vortex Laboratory, Moorevale, USA.

Dylan membuka kedua netra. Perlahan, cahaya putih kebiruan di iris matanya memudar. Setelah mengunjungi dunia portal, ia kembali pulang ke dunia nyata.

Pemuda itu berdiri di tepi hutan kota Moorevale, tepatnya di lahan kosong dengan garis polisi di sekelilingnya. Di sana terdapat puing-puing dari sisa bangunan yang terbakar. Lokasi di hadapannya sangat kacau, seperti bangunan yang hancur karena perang.

Ya, Dylan berdiri di laboratorium ayahnya yang sudah hancur. Karena Vortex Laboratory adalah kepunyaan swasta dan tidak ada yang bertanggung jawab atas gedung itu sejak Sean meninggal, pemerintah enggan ikut campur untuk merapikan lokasi tersebut.

Dylan melangkah melewati garis polisi dan berjalan ke tengah puing-puing bangunan. Pemuda itu menutup hidung dan mulutnya, melindungi dirinya dari debu maupun abu dari sisa ledakan. Setelah menemukan sisa puing-puing yang cukup besar dan stabil, ia duduk di sana.

"Seandainya aku bisa memutar waktu atau kembali ke masa itu dengan menggunakan mesin waktu, aku ingin meminta maaf padamu, Dad." Ia menghela napas kecewa. "Tapi itu tidak mungkin."

Dylan membuka telapak tangannya, perlahan partikel 201X muncul dan menari-nari di atasnya.

"Aku memang tidak bisa memutar waktu," gumamnya, kedua netranya perlahan melebar, senyumnya mengembang, "tapi aku bisa melakukan ini!"

Dylan beranjak dan berdiri tegak di tengah puing-puing bangunan yang sudah hancur. Pemuda itu memiliki ide gila. Jika ia bisa mengembalikan segelas susu coklat yang sudah habis menjadi penuh kembali, seharusnya pemuda itu juga bisa mengembalikan Vortex Laboratory ke waktu sebelum terjadi ledakan. Jika laboratorium ini kembali seperti semula, tentu saja semua orang yang ada di bangunan ini akan hidup kembali.

"Well, ini gila, tapi aku tetap harus mencobanya, 'kan?" Dylan menyeringai.

Ia merunduk dan meletakkan kedua tangannya di salah satu puing-puing bangunan. Pemuda itu memejamkan mata dan menarik napas panjang. Perlahan, cahaya putih kebiruan berpendar di telapak tangannya, disusul oleh getaran tanah di sekita. Dylan berusaha menyeimbangkan tubuh agar tidak terjatuh. Semakin lama, getaran itu semakin hebat.

Avenir [COMPLETED]Where stories live. Discover now