Dua Puluh Tujuh

404 50 14
                                    

"Apa dia tetap tidak mau makan?" suara berwibawa memecah kesunyian di ruang makan pagi ini.

"Makanan semalam masih utuh di depan kamar, Tuan. Saya sudah menggantinya dengan yang baru pagi ini," ucap patuh seorang pelayan yang berdiri di sudut, ditemani dengan dua orang pelayan lainnya.

Lelaki paruh baya itu hanya menghembuskan nafas kasar. Dia melambaikan tangan, memberi isyarat kepada mereka untuk meninggalkan ruangan.

Meski tangan dan mulutnya terus bekerja, tapi siapapun bisa melihat bahwa lelaki itu sama sekali tak punya selera makan. Tangannya lebih lama mengaduk-aduk sendok di mangkuk daripada menyuapi ke mulutnya.

Dirasa sudah cukup, dia beranjak dari kursi dan naik ke lantai atas. Menuju sebuah ruangan paling ujung, ruangan paling luas di lantai itu. Di depannya, ada dua bodyguard yang dengan segera memberi sikap tunduk hormat padanya.

"Dia masih belum membuka kamarnya?"

"Belum, Tuan. Apa mau dibuka paksa saja?"

"Tidak perlu!"

Tuan Kim tahu benar bagaimana watak Jongdae, tak jauh berbeda dengan dirinya. Dia melirik meja di sebelah pintu kamar, menu sarapan yang masih utuh dan rapi tertutup.

Andai memang diperlukan, Tuan Kim bisa dengan mudah membuka kamar ini, tapi dia tidak mau melakukannya. Harus ada cara yang lebih tepat untuk menangani Jongdae. Dia ibarat ranting kering, semakin dipaksa untuk lurus dia akan dengan mudah patah.

Tok
Tok
Tok

Ini untuk pertama kalinya Tuan Kim mengetuk pintu itu, sejak Jongdae mengurung diri di dalam sana seminggu yang lalu. Sejak pagi itu, saat Tuan Kim menerima foto-foto yang membuatnya meradang. Jongdae yang terus membentak dan mengelak, sedangkan Soomin menangis tersedu di hadapannya. Tuan Kim seperti dihadapkan pada pilihan berat. Ia memang ingin anaknya menikah dengan Soomin, tapi bukan dengan alasan memalukan seperti ini.

"Ini aku. Apa aku bisa masuk?" ucap Tuan Kim sejenak saat tak mendengar apapun dari dalam.

Hening.

Sepi.

Senyap.

Tuan Kim kembali menghela nafas kasar. Kakinya sudah siap untuk berbalik kembali menjauh saat tiba-tiba indra pendengarannya menangkap suara kunci yang diputar. Tangannya ragu untuk meraih gagang pintu. Apa benar Jongdae membukakan pintu untuknya? Dengan perlahan dia memutar kenop pintu, terbuka.

Ruangan itu tak layak disebut kamar. Apalagi mengambil tempat di sebuah rumah semegah ini, mungkin lebih tepat disebut gudang bawah tanah. Gelap, pengap, penuh asap rokok, botol minuman keras berserakan dimana-mana, pakaian bergelantungan di segala tempat, dan dia berdiri seperti mayat hidup tak jauh dari daun pintu yang terbuka separuh.

Dengan langkah gontai dia berjalan tersuruk menuju tepi ranjang, menjatuhkan dirinya dengan kasar, memandang jendela yang tertutup dengan tatapan nanar.

"Apa yang kau mau?" ucapnya dengan suara lemah dan serak.

"Berhentilah menyiksa diri seperti ini! Makanlah sesuatu, jangan mengisi perutmu dengan minuman keras terus!" jawab Tuan Kim tegas tapi tetap dengan nada halus.

Tentu saja, hati orang tua mana yang tidak terenyuh melihat keadaan putra semata wayangnya menjadi separah ini? Bahkan Tuan Kim yang terkenal angkuh dan arogan pun bisa merasa serapuh itu juga.

Demi apapun, dia sangat ingin Jongdae mendapatkan wanita yang memang baik, menurutnya. Dari segala aspek yang dijadikan kriteria, Jung Soomin adalah kandidat paling tepat. Cantik, pintar, dididik dari keluarga baik-baik, dan yang paling penting Tuan Kim mengenal keluarganya sudah sejak lama. Apalagi perusahaannya dan perusahaan Tuan Jung tengah merencanakan kerjasama, itu poin lebihnya.

Dia memang pernah meminta Soomin untuk membuat Jongdae bertekuk lutut, tapi bukan dengan cara seperti ini. Ternyata pemikirannya tentang wanita baik terlahir dari keluarga baik tidak sepenuhnya benar. Soomin adalah bukti nyata yang menyangkal rantai keturunan itu. Sekarang posisi Tuan Kim benar-benar serba salah.

Sementara Jongdae tak menjawab apapun, dia masih menatap jendela dengan pandangan kosong. Dari tirai putih yang menutupi, bisa dilihat ada bodyguard juga di balkonnya. Tuan Kim sungguh mengurung Jongdae dalam penjaranya sendiri.

"Kau ingin makan apa? Biar kuminta pelayan menyiapkannya!"

"..."

"Apa kau pernah bercermin? Pantulannya pasti lebih mirip zombie daripada anakku".

"..."

"Bicaralah! Apa kau selemah itu hingga tidak sanggup membuka mulutmu?"

Bisa didengar, Jongdae seperti terkikik. Suara tercekat yang keluar darinya mungkin bisa membuat bulu kuduk meremang, bukan karena takut seperti hantu tapi lebih pada mengerikan karena penuh rasa putus asa.

"Tuan Kim...."

"Ya? Kau memanggilku apa?"

"Tuan Kim. Aku akan memanggilmu seperti itu mulai sekarang. Kau bukan ayahku!" kalimat di akhir penuh dengan penekanan dan luapan amarah tertahan. Tuan Kim tahu, andai sekarang Jongdae dalam keadaan sehat, pasti dia sudah mampu membunuh semua bodyguard yang tengah berjaga.

Lelaki itu menarik kursi kerja di sudut ruangan, mendudukkan dirinya menghadap anak yang tidak ingin menganggapnya ayah lagi. Ditariknya nafas berulang kali dengan mata masih menatap pada seonggok daging bernyawa di depannya.

"Kau pikir aku tidak memikirkan cara untuk mengeluarkanmu dari situasi ini? Kau pikir aku senang kau akan menikah karena alasan memalukan ini?"

"..."

"Aku memang berniat menjodohkanmu dengan Soomin, menikahkan kalian, membuat perusahaanku semakin besar, tapi bukan dengan cara ini!"

"AKU TIDAK PERNAH TIDUR DENGANNYA!!" Jongdae berdiri, mengepalkan kedua tangannya. Dirasa badannya lemas, ia kembali terduduk dengan pasrah.

"Aku tahu! Tapi dia punya bukti dan kita tidak bisa menyangkalnya. Dia punya banyak saksi yang memang membenarkan kalian pergi ke hotel malam itu!"

Hening sesaat, tetiba suara isak menggema di ruangan itu. Sungguh demi Tuhan, Tuan Kim seperti disayat sembilu melihat anaknya menangis seperih itu.

"Dia bahkan pergi meninggalkanku juga. Dia bahkan tidak menungguku lagi. Dia lelah bersamaku. DAN ITU GARA-GARA KAU!!!!"

Tanpa menyebut nama, Tuan Kim tahu siapa yang tengah diracaukan anaknya. Choi Heera, gadis yang pernah diancamnya beberapa minggu lalu. Dari Sekretaris Lee, Jongdae mendapat informasi bahwa Heera sudah pindah dan berhenti bekerja di kafe. Dia bahkan mengajukan cuti panjang dari kuliahnya. Dia menghilang.

"Aku akan mencarinya untukmu!"

Jongdae terkekeh pelan. Dia kembali berdiri, melangkah mendekati ayahnya dengan terseok-seok, ketara sekali tubuhnya lemas karena tidak makan ditambah hanya mengonsumsi alkohol. Kedua tangan Jongdae mencengkeram bahu Tuan Kim. Hanya dari deru nafasnya saja, sudah bisa dirasa lelaki ini sedang demam. Matanya memerah dan wajahnya luar biasa pucat.

"Untuk apa mencarinya? Dia sudah membenciku!! Bukan hanya dia, semua temanku pun membenciku!! Kau tahu?!"

"Ayo ke rumah sakit! Kau demam!" Tuan Kim memegang kedua pergelangan tangan Jongdae, dengan kasar segera disentak oleh empunya.

"Tidak usah sok peduli! Kau pikirkan saja perusahaan yang sangat kau puja-puja itu!"

Sekali lagi, Jongdae menundukkan badannya. Membuat wajahnya sejajar dengan ayahnya yang tengah duduk.

"Silakan nikahkah aku dengan perempuan pilihanmu! Berbahagialah karena uangmu akan semakin banyak! Tapi ingat, kau bukan ayahku lagi!"

Kedua mata mereka masih beradu pandang. Jongdae dengan mata bengkak memerah tapi tatapannya penuh amarah, sedangkan Tuan Kim memandangnya sayu dan sendu. Perlahan kedua mata Jongdae seperti kehilangan fokusnya. Rasa pusing menyerang dan menghantam kepalanya dengan cepat. Perlu sedetik untuk bisa dipahami, lalu dia terjatuh tepat di pangkuan Tuan Kim.

🍃🍃 31 DES 2019 🍃🍃

GRAVITY ❌ KJD ✅Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz