Alana

207 25 15
                                    

Laki-laki itu sejenak merenungi apa yang baru saja ia lakukan. Sebuah buku tersemat di tangan kirinya, sedangkan niat pertamanya adalah ingin mengambil ponsel di atas nakas di dalam ruang kerjanya. Buku itu sebenarnya hanya tak sengaja tergeletak di samping ponselnya. Ia telah membelinya sepekan lalu, ketika ia pergi ke toko buku untuk mencari majalah bisnis. Sesuatu yang jarang sekali ia lakukan karena membaca mungkin akan menjadi hobinya jika ia kehabisan tontonan di media streaming digital langganannya. Dan itu sesuatu yang tak mungkin. Laki-laki itu tak pernah bosan menonton film. Ia pun belum berniat mengganti hobi nontonnya itu dengan membaca. Seperti gadis yang beberapa tahun lalu dikenalnya sebagai kutu buku.

Sial! Hahaha.

Ia memaki dalam hati. Entah untuk apa atau siapa. Sebab yang kini ia pandangi adalah buku dengan sampul warna moka dan ilustrasi kopi di tengah sebagai representasi isi cerita. Buku yang dikategorikan sebagai novel. Buku karangan gadis yang sempat ia kenang beberapa saat lalu.

Alana Kusumanissa.

Pada bagian tengah novel itu, tertera nama yang familier sebagai penulis. Laki-laki itu masih sangat hafal nama lengkapnya. Awalnya ia tak benar-benar berniat menghafal. Kebiasaan laki-laki itu saja yang menulis nama pada kontaknya dengan nama lengkap sang pemilik nomor. Tetapi dari sanalah, ia tak pernah lupa nama Alana. Gadis berjilbab yang pernah bekerja dengannya. Membantunya mengerjakan berbagai tugas kuliah, hingga pendengar setia beberapa keluh kesahnya. Sesuatu yang jarang ia ceritakan pada orang lain kecuali teman dekat. Apakah ia anggap gadis itu sebagai rekan dekatnya? Laki-laki itu tak pernah yakin.

Seperti perasaannya dulu ketika sering menggoda gadis itu hanya karena ia merasa senang. Keusilannya pula yang membuat seluruh sahabat di sekitarnya mengatainya naksir 'akhwat'. Sesuatu yang tak benar-benar ia pikirkan secara serius. Benarkah ia tak benar-benar punya perasaan pada gadis itu?

Laki-laki itu membuka beberapa lembar awal novel Alana. Ia yang tak hobi membaca novel sebenarnya merasa aneh, tetapi ia cukup terbiasa dengan tulisan Alana ketika gadis itu magang di kantornya. Sesekali membuat konten tentang ulasan tempat-tempat di kota kelahirannya yang dapat dijadikan bahan rekomendasi, atau membaca cerpen gadis itu yang sesekali dimuat di media daring. Laki-laki itu kadang juga iseng membaca cerpen yang diunggah di blog pribadi Alana. Dalihnya hanya ingin tahu. Tetapi lama kelamaan ia sempat ketagihan.

Itu dulu. Jauh sebelum Alana meninggalkan kota ini. Sebelum gadis itu menghilang dan tak pernah berkabar. Dan sebelum akhirnya ia kembali menemuinya setengah tahun lalu, ketika gadis itu main ke kotanya sebagai narasumber di acara bedah buku.

Ia jadi meringis ketika dengan nekat ia pergi meliput dengan alasan tidak ada orang lain. Walau ia tidak berbohong, tetapi ia membohongi dirinya sendiri. Semua orang memang tidak bisa datang ke acara Alana karena perhatian mereka sedang meliput kegiatan menuju pemilu wali kota. Dan acara Alana tak benar-benar perlu dimasukkan rubrik di berita pada hari itu. Tetapi laki-laki itu membuat alasan, dan memutuskan untuk datang sendirian. Ia hanya ingin bertemu dengan Alana walau tanpa alasan yang jelas. Barangkali ia bisa reuni kembali setelah beberapa tahun tak berjumpa? Ia merasa konyol setelah benar-benar memikirkannya.

Mana mungkin gadis itu mau reuni dengan pria pengecut seperti dirinya? Kuliah molor dan terancam dikeluarkan, bisnis gagal, dan ia hampir putus asa untuk kembali memulainya. Mana mungkin ada perempuan yang mau dengan laki-laki yang tak berpenghasilan seperti dirinya?

Tetapi bukankah syarat yang diajukan Alana—jika percakapannya bertahun-tahun lalu bisa dikategorikan sebagai kriteria dari gadis itu—bukan itu? Ia hanya perlu memperbaiki dirinya sendiri. Sesuatu yang tak pernah ia yakini sendiri.

Yang benar saja ia bisa hijrah seperti kakaknya? Wah, perlu dihantam dengan apa dulu dirinya agar bisa totalitas berubah jadi lelaki saleh? Tetapi bukan itu yang disampaikan Alana. Ia tahu. Masalahnya adalah pada dirinya sendiri. Alatas hanya tidak berani. Terlalu banyak risiko untuk membuat perubahan. Dan ia belum siap. Entah kapan. Walau setidaknya laki-laki itu tak separah dulu. Ia berhenti merokok, berusaha menunaikan salat wajib walau belum mampu tepat waktu, sesekali mendengarkan kajian jika kakaknya yang seorang ustaz itu memaksanya untuk hadir, dan membaca beberapa buku agama yang ringkas dan mudah dipahami. Yang jelas, ia sudah agak waras daripada dulu. Sayangnya, cinta baginya tak pernah tepat waktu.

Atau bukan cinta? Semuanya hanya masalah takdir.

Alana bukan jodohnya. Itu yang terjadi. Dan ia meyakini bahwa ketetapan adalah salah satu rukun iman di dalam agama-Nya. Ia memang bandel dan agak longgar, tetapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa mengimani enam rukun dalam agama-Nya adalah sesuatu yang tak bisa ditawar. Jadi ia akan mengikhlaskan sesuatu yang bukan bagian dari takdirnya. Walau ia kembali ingin tertawa saja jika menggunakan istilah itu.

Memangnya ada mengikhlaskan sesuatu yang memang dari awal bukan miliknya?

Laki-laki itu mengumpat kembali, kali ini untuk dirinya sendiri. Walau beberapa detik kemudian ia bertasbih mengagungkan nama Rabb-nya. Ia hanya merasa lucu dengan hidupnya yang mudah sekali ditertawakan. Tetapi hidup tetap harus berjalan. Sedangkan cinta bisa dicari nanti-nanti. Sampai ibunya tersayang mengingatkannya kembali untuk berikhtiar mencari jodoh. Jika sudah begitu ia hanya menjawab dengan candaan.

Setelah beberapa saat menimbang, akhirnya laki-laki itu membawa serta buku beserta ponsel dan dompetnya yang telah lebih dulu dikantonginya. Teman-temannya telah menunggunya di teras depan untuk bersiap terbang ke Bali. Ada acara coaching dengan mentor bisnisnya di sana, serta liburan tipis-tipis. Lumayan jika barangkali ada jodoh yang nyangkut untuk dipersunting. Kalau tidak, rutinitasnya sebagai laki-laki bujang akan menjadi siklus hingga Tuhan menghendakinya berlabuh pada dermaga hati.

Astaga, ampun sudah kalau ia lagi-lagi harus jadi laki-laki melankolis. Bisa-bisa ia dikira beneran patah hati.

**//**


Notes penulis: Hai, aku kembali mengudarakan fragmen dari Novel Cerita Kopi lalu. Ini untuk permulaan dan percobaan apakah Cangkir Terakhir yang akan lebih mendeskripsikan tentang kehidupan Alatas bisa memikat hati para pembaca Cerita Kopi. Wkwkwk. Jadi, aku harap ada respons yang cukup membuatku akhirnya meneruskan Cangkir Terakhir. Terima kasih ya. Ditunggu bintang dan sarannya di kolom komentar. See ya. ^^ 

Jan, 3rd th2020

Cangkir Terakhir: Cerita Kopi 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang